Contoh akhlak Nabi, Tawadhu, video

تِلۡكَ ٱلدَّارُ ٱلۡأَخِرَةُ نَجۡعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّ۬ا فِى ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فَسَادً۬اۚ وَٱلۡعَـٰقِبَةُ لِلۡمُتَّقِينَ
Artinya : “Negeri akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Dan kesudahan (yang baik, surga-pen) itu bagi orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Qashash : 83)
Dan ingatlah ketika di bacakan kisah Musa A.S. yang dia di perintahkan Allah untuk menemui Khidir A.S. padahal kedudukannya di bawah Musa A.S.
قَالَ لَهُ ۥ مُوسَىٰ هَلۡ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمۡتَ رُشۡدً۬ا
Artinya : “Musa berkata kepadanya, ‘Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadikan) petunjuk?” (Q.S. Al-Kahf : 66)
Kemudian ingatlah nasihat Luqman seorang yang shaleh lagi bertakwa kepada Allah ta’ala yang ia itu menasihati kepada anaknya,
يَـٰبُنَىَّ أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَٱنۡهَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَٱصۡبِرۡ عَلَىٰ مَآ أَصَابَكَۖ إِنَّ ذَٲلِكَ مِنۡ عَزۡمِ ٱلۡأُمُورِ وَلَا تُصَعِّرۡ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمۡشِ فِى ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًاۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٍ۬ فَخُورٍ۬ وَٱقۡصِدۡ فِى مَشۡيِكَ وَٱغۡضُضۡ مِن صَوۡتِكَۚ إِنَّ أَنكَرَ ٱلۡأَصۡوَٲتِ لَصَوۡتُ ٱلۡحَمِيرِ
Artinya : “Wahai anakku! Laksanakanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting. Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh, Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu, Sesungguhnya, seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Q.S. Luqman : 17-18)
Di dalam kitab Tadzkirotus Sami’ Wal Mutakalim : 65 disebutkan bahwa Umar ibn Al-Khattab pernah berkata, “Belajar ilmu itu mempunyai 3 tingkatan :
1) Barangsiapa yang sampai ke tingkatan pertama, dia akan menjadi seorang yang sombong.
2) Barangsiapa yang sampai ke tingkatan kedua, dia akan menjadi seorang yang tawadhu`.
3) Barangsiapa yang sampai ke tingkatan ketiga, dia akan merasakan bahawa dia tidak tahu apa-apa.”
Penulis teringat akan cerita seorang guru kepada penulis, bahwa guru penulis pernah di tanya akan gelar gurunya yang gelarnya itu banyak, dan beliau sendiri belum pernah mencantumkan gelarnya pada sela-sela namanya di berbagai kajian atau buku-buku yang beliau tulis.
Tetapi pada satu waktu beliau mencantumkan salah satu gelarnya yang membuat aneh para murid-muridnya, karena tidak biasanya beliau mencantumkan gelarnya di ujung namanya. Kemudian beliau di tanya tentang kenapa beliau mencantumkan gelarnya, dan dengan kerendahan hatinya beliau menjawab, “bahwa itu permintaan dari para dokter yang saya ajar, agar memang saya dikenal sebagai seorang dokter, maka dengan terpaksa saya tempel gelar itu.”
Dan yang menariknya lagi bahwa penulis tau akan jasanya (Guru dari guru penulis-pen), beliau adalah salah satu dari orang-orang yang membawa satu beladiri Islami wabil khusus beliaulah yang mengembangkannya sehingga pada zaman sekarang beladiri Islami ini (yang terhindar dari bid’ah, khurafat, takhayul dan syirik insyaallah) sudah ada di mana-mana.
Maka secara logis dari pemikiran penulis maupun pembaca sendiri bahwa tidaklah mengapa jika beliau ini di panggil “Guru besar” dari beladiri itu, tetapi pada satu waktu beliau pernah mengutarakan bahwa “Jika ada panggilan guru besar, maka ada guru kecil!” bahkan dalam satu moment beliau pernah dipanggil GURU BESAR ----, maka marahlah beliau.
Mungkin syair/sajak ini pantas kami tujukan kepadanya, “Duhai guru... malulah diri ini kepada sosok sepertimu.. kau mengajarkan kepada kami ketawadhuan... sedangkan kami tertipu dengan kesombongan..”
Wallahu'alam
[] Di kutip dari : Sifat Tawadhu' - Syaikh Nabil Al-Awadhi (Ijma'83)
[] Editing by : Alfani Kamil
COMMENTS