“TIDAK BERMADZHAB” Sebagai Madzhab PERSIS. Persatuan Islam (Persis), sebagai jam’iyah sekaligus harakah diniyah Islamiyah (gerakan keagamaan), sejak awal berdirinya telah menjadikan faham Ahlussunah Wal Jama’ah sebagai basis teologi (dasar beraqidah) dan mengakui, namun tidak selalu mengikuti, salah satu dari berbagai mazhab dalam berfiqih, baik Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hanbali maupun yang lainnya
Persatuan Islam (Persis), sebagai jam’iyah sekaligus harakah diniyah Islamiyah (gerakan keagamaan), sejak awal berdirinya telah menjadikan faham Ahlussunah Wal Jama’ah sebagai basis teologi (dasar beraqidah) dan mengakui, namun tidak selalu mengikuti, salah satu dari berbagai mazhab dalam berfiqih, baik Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hanbali maupun yang lainnya. Dengan tidak mengikuti salah satu di antara mazhab fiqih ini, menunjukkkan elastisitas dan fleksibilitas sekaligus memungkinkan bagi Persis untuk tidak terikat kepada mazhab secara total atau dalam beberapa hal yang dipandang sebagai kebutuhan (hajat). Hampir dapat dipastikan bahwa fatwa, petunjuk dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama Persis tidak bersumber dari mazhab-madzhab tertentu.
Dengan tidak mengikuti salah satu dari berbagai mazhab dalam fiqih, Persis sejak berdirinya memang mengambil sikap dasar untuk “tidak bermazhab”. Sikap ini secara konsekuen ditindaklanjuti dengan upaya pengambilan hukum langsung dari sumber primer (Quran dan sunah). Sedangkan sumber sekunder, yakni beragam fatwa pada kitab-kitab fiqih, yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematis dalam beberapa komponen: ‘ibadah, mua’amalah, munakahah (hukum keluarga) dan jinayah/qadha (pidana/peradilan) dijadikan bahan perbandingan dalam penetapan hukum (istinbath al-hukm).
Dalam hal ini para ulama Persis tidak mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada pendapat para mujtahid (aqwaal al-mujtahidiin) yang independen (muthlaq) ataupun dependen (muntashib). Bila kebetulan ditemukan pendapat yang telah ada nashnya (qawl manshush), maka nash itulah yang dijadikan pegangan. Kalau tidak ditemukan, hukum fiqih itu digali dari dalil-dalil yang rinci melalui prosedur kerja dengan menggunakan berbagai kaidah (Qawa’id), yakni: Pertama, Qawa’id Usuliyyah Lughawiyyah (kaidah-kaidah ushul yang dipetik dari bahasa). Kedua, Qawa’id Usuliyyah Tasri’iyyah Ijtihadiyyah (kaidah-kaidah ushul fiqh yang disimpulkan dari nash). Dalam berbagai hal menggunakan pula Qawa’id Mantiqiyyah (kaidah-kaidah logika).
Dalam memutuskan sebuah hukum, sebagaimana dimaklumi, Persis mempunyai sebuah lembaga fatwa yang disebut Dewan Hisbah. Dewan ini bertugas mengambil keputusan tetang hukum-hukum Islam, baik yang berkaitan dengan masa’il fiqhiyah (masalah fiqih) maupun masalah akidah. Masalah-masalah yang dibahas umumnya merupakan kejadian (waqi’iyahatau nawazil) yang dialami oleh anggota dan pimpinan jam’iyyah yang diajukan oleh lembaga ataupun perorangan. Masalah-masalah itu setelah diinventarisasi oleh Dewan Hisbah lalu diadakan skala prioritas pembahasannya. Dan apabila dalam pembahasan itu terjadi kemandegan (mawquf) maka akan diulang pembahasannya pada kesempatan lain. Selain itu, Dewan Hisbah juga tidak tabu dalam meninjau kembali putusannya (PK) jika dikemudian hari ditemukan bukti dan dalil hukum baru atau didapat pemahaman lain terhadap dalil lama yang lebih kuat.
Dari segi historis maupun operasionalitas, Dewan Hisbah Persis merupakan forum yang sangat dinamis, demokratis dan “berwawasan luas”. Dikatakan dinamis sebab persoalan (masa’il) yang dibahas selalu mengikuti perkembangan (trend) hukum di masyarakat, meskipun masih terbatas. Demokratis, karena dalam forum tersebut tidak ada perbedaan antara “guru” dan “murid”, senior dan yunior. Pendapat siapapun yang paling kuat itulah yang diambil. Dikatakan “berwawasan luas” sebab dalam forum ini tidak ada dominasi mazhab.
Sering muncul krtik bahwa Dewan Hisbah Persis tidak dinamis, hanya berorientasi pada qawl(pendapat) ulama, bukan manhaj (metodologi). Krtitik tersebut sesungguhnya tidak seluruhnya benar. Misalnya dulu sejumlah ulama mengharamkan orang Islam memakai jas dan dasi karena dianggap tasyabbuh (menyerupai) dengan orang kafir. Tetapi KH.E Abdurrahman sendiri, sebagai Ketua Umum Persis yang juga Ketua Dewan Hisbah, selalu memakai jas dan dasi. Perkara ini tidak ada dalil (qaul)nya, dan pengamalan itu berdasakan manhaj. Tidak ada kitab-kitab fiqih yang secara tekstual menerangkan “haruma al-dasi awa al-jas li annahu…” (diharamkan dasi dan jas karena…). Contoh lain, para ulama Persis dalam memberikan fatwa hukum sering memakai kaidah-kaidah fiqih atau ushul fiqih. Hanya saja masalahnya para ulama Persis meskipun sudah memberi fatwa hukum berdasarkan kaidah fiqih mereka tidak mau kalau tidak ada landasan teks/nashnya. Jadi kelihatan tekstual tetapi sebetulnya penuangan teks itu setelah melalui proses berfikir manhaji yang panjang dan njlimet.
Penuangan dasar teks ini, kemudian menimbulkan adanya kesan bahwa ulama Persis hanya bermazhab fi al-aqwal (dalam pendapat hukum) tidak fi al-manhaj (dalam metodologi). Padahal sebenarnya, para ulama Persis juga memegangi dan mempelajari manhaj para imam madzhab. Hal ini terlihat dalam kepustakaan mereka dan kurikulum pesantren yang diasuhnya. Kitab-kitab seperti al-Mu’tamad, karya Abu Husain Muhammad Ibnu ‘Ali al-Bishriy (wafat 412 H), al-Burhan, karya al-Imam al-Haramain (wafat 474 H), al-Mustashfa min ‘Ilm al-Usūl, karya al-Ghazali (wafat 500 H), sebagai rujukan Ushul al-fiqh bercorak Syafi’iyyah, atau Usūl al-Karkhiy (wafat 430 H) dan Usūl al-Bazdawiy (wafat 438 H), sebagai rujukan Ushul al-fiqh bercorak Hanafiyyah. Begitu pula Ushul al-fiqh bercorak komparasi seperti Jam’u al-Jawami’, karya Taj al-Din Abd al-Wahhab al-Subkiy (wafat 771 H) dan Raudlah al-Nazhir, karya Ibnu Qudamah (wafat 620 H), dan lain-lain banyak dijumpai pada koleksi kepustakaan mereka dan dibaca (diajarkan) di beberapa pesantren. Dalam hal ini metodologi itu digunakan untuk memperkuat pemahaman atas masa’il furu’iyah (masalah fikih praktis) yang ada pada kitab-kitab fiqih, di samping sering juga diterapkan untuk mengambil langkah menetapkan hukum sesuatu berdasarkan hukum atas sesuatu yang sama yang telah ada (tanzhir al-masa’il bi nazhairiha), tidak untuk penggalian hukum dari sumber pokoknya (istinbath al-ahkam min mashadiriha al-ashliyyah).
Langkah ini mesti dilakukan karena rumusan fiqih yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu bagaimanapun jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi sosial, politik dan kebudayaannya sudah berbeda. Dan hukum sendiri harus berputar sesuai dengan ruang dan waktu. Jika hanya melulu berlandaskan pada rumusan teks, bagaimana jika ada masalah hukum yang tidak ditemukan dalam rumusan tekstual fiqih? Apakah mesti tak terjawab (mauquf)? Padahal memauqufkan persoalan hukum, hukumnya tidak boleh bagi ulama (fuqaha). Disinilah perlunya “fiqih baru” yang mengakomodir permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat. Dan untuk itu mesti dikembalikan kepada manhaj, yakni mengambil metodologi yang dipakai ulama dulu dan ushul fiqih serta qawa’id (kaidah-kaidah fiqih).
Pengertian istinbath hukum di kalangan ulama Persis adalah mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah bukan men-tathbiq-kan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Oleh karena itu, kalimat istinbath telah populer di kalangan ulama Persis dengan konotasi ijtihad.
Memang harus diakui keputusan-keputusan hukum Dewan Hisbah belum merata di seluruh jajaran jam’iyyah dan anggota Persis, karena di samping sosialisasinya masih terbatas juga keterbatasan referensi yang tersedia. Karena itu, selain tidak tabu dalam meninjau kembali putusannya (PK), sebagaimana disinggung di atas, yang paling penting ulama Persis juga menyadari bahwa fiqih itu merupakan produk ijtihadi. Sebagai produk ijtihad, keputusan fiqih bukan barang sakral, yang tidak boleh diubah meskipun situasi sosial budayanya sudah berubah melaju kencang.
Sebagai produk ijtihad, maka sudah sewajarnya jika fiqih terus berkembang karena pertimbangan-pertimbangan sosio-politik dan sosio-budaya serta pola pikir yang melatarbelakangi hasil penggalian hukum sangat mungkin mengalami perubahan. Para peletak dasar fiqih, yakni imam mazhab (mujtahidin) dalam melakukan formasi hukum Islam meskipun digali langsung dari teks asal (al-Quran dan Hadis) namun selalu tidak lepas dari pertimbangan “konteks lingkungan” keduanya, baik asbab an-nuzul maupun asbab al-wurud. Namun konteks lingkungan ini kurang berkembang dikalangan Persis. Ia hanya dipandang sebagai pelengkap (komplemen) yang memperkuat pemahaman karena yang menjadi fokus pembahasannya adalah norma-norma baku yang telah dikodifikasikan dalam kitab-kitab, furu’ al-fiqh. Fungsi syarah, hasyiyah, taqrirat dan ta’liqat juga dipandang sebagai “figuran” yang hanya berfungsi memperjelas pemahaman muatan teks. Meskipun di dalam kitab-kitab syarah,hasyiyah, ta’liqat sering ditemukan adanya kritik, penolakan (radd), counter, perlawanan (i’tiradh), atas teks-teks matan yang dipelajari dan dibahas, namun hal itu kurang mendapat kajian serius di lingkungan Persis.
Karena sadar bahwa fiqih merupakan produk ijtihad, para fuqaha terdahulu baik Imam yang empat maupun yang lain meskipun berbeda pandangan secara tajam, mereka tetap menghormati pendapat lain, tidak memutlakkan pendapatnya dan menganggap ijtihad fuqaha lain sebagai keliru. Mereka tetap berpegang pada kaidah “hasil ijtihad tidak dapat dibatalkan oleh hasil ijtihad lain (al-ijtihaad la yunqadhu bi al-ijtihaad). Masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan. Hasil ijtihad seorang fuqaha mungkin tidak pas pada ruang dan waktu tertentu tetapi sesuai untuk ruang dan waktu yang berbeda. Disinilah fiqih menunjukkan wataknya yang fleksibel, dinamis, realistis, dan temporal, tidak kaku dan tidak pula permanen.
Dalam konteks ini pula maka kriteria mu’tabar yang sudah direduksi menjadi hanya melulu kitab-kitab mazhab empat sebetulnya tidak senafas dengan semangat fiqih sebagai produk ijtihad. Mengapa demikian? Sebab kriteria mu’tabar dan ghairu mu’tabar berarti disitu ada pandangan yang mengunggulkan pendapat imam tertentu dan merendahkan pendapat imam lain. Ini tidak sejalan dengan kaidah “hasil ijtihad tidak dapat dibatalkan oleh hasil ijtihad lainnya (al-ijtihaad la yunqadhu bi al-ijtihaad).
Lebih jauh, harus ditegaskan bahwa muara fiqih adalah terciptanya maslahat dan terhindarnya kemudharatan dalam kehidupan masyarakat. Dalam kerangka berfikir ini, seandainya ada produk fiqih yang tidak bermuara pada terciptanya maslahat dan terhindarnya kemudharatan dalam kehidupan masyarakat sejatinya dapat ditinggalkan dan mesti dibuat fiqih baru dengan tetap berpegang pada prinsip maqashid as-syari’ah serta memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang lebih bersifat nilai (legal value). Nilai-nilai yang dimaksud adalah keadilan, kejujuran, kebebasan, persamaan di muka hukum, perlindungan hukum terhadap masyarakat serta menjunjung tinggi supremasi hukum Allah. Dengan begitu keputusan hukum yang dihasilkan para ulama Persis tidak kehilangan relevansi dengan semangat demokrasi modern dan ide negara-bangsa (nation-state) seperti Indonesia.
By Amin Muchtar / Sigabah.com / Gambar dari pwkpersis.wordpress.com
COMMENTS