Renungan Tarikh. Kisah Inspiratif. Teladan para sahabat.
Lidah bisa melukai hati orang tanpa melukai badan. Luka hati meninggalkan bekas, tidak mudah hilang kecuali di kalangan muttaqiin, yang selalu ingat akan kebaikan orang lain terhadap dirinya, dan tidak lupa berutang budi pada orang lain, bahkan dengan ikhlas ia melupakan segala jasa dan kebaikan yang pernah ia berikan kepada orang lain.
Bila suami istri berakhlak seperti itu, maka rumah tangganya akan menjadi surga dunia. Sebaliknya, bila mereka rajin menghitung-hitung jasa dan kebaikan dirinya kepada orang lain, maka rumah tangga atau persahabatannya akan kehilangan mawaddah dan rahmah, dan akan tumbuh dengan subur kebencian dan kedengkian; pada saat seperti itu pihak ketiga ikut meniup-niupkan api permusuhan.
Sayyidina Umar adalah seorang sahabat yang dikatakan oleh Rasulullah bahwa setan segan untuk mengganggunya. Ia seorang yang kuat dank eras, tetapi ia tetap manusia. Sewaktu ia tersinggung oleh ucapan Abu Bakar, hatinya luka; ia pulang, dan Abu Bakar ditinggalkannya untuk menjaga agar luka hatinya tidak bertambah parah. Kesempatan itu tidak dijadikan kesempatan oleh setan untuk di adudombakan. Abu Bakar menyesal, salah atau benar tindakan dan sikap dirinya tidak menjadi pertimbangan yang nyata.
Abu Bakar pergi ke rumah Umar untuk meminta maaf, sebab ia merasa bersalah. Dia tidak membiarkan perasaan buruk itu menghantui dirinya sendiri, sebab hati nurani itu selalu jujur; ia mengakui kesalahan dan kekeliruannya sekalipun lidahnya memungkiri.
Yang penting bukan cinta, tetapi dicintai. Kecintaan yang tidak mendapatkan balasan akan beralih menjadi azab, menjadi siksaan batin, sebab yang menjadi kenikmatan itu adalah dicintai orang, dan yang mendorong untuk berkurban ialah kecintaan.
Abu Bakar merasa tersiksa batinnya tatkala ia ditolak oleh Umar, Umar tidak mau member maaf kepadanya. Ia (Umar) tidak kuat menahan kepedihan hatinya karena niat baiknya tidak diterima. Lalu dia (Abu Bakar) pergi menghadap Rasulullah SAW.
Sungguh tajam firasat Rasulullah SAW., beliau mengetahui Abu Bakar datang membawa sesuatu yang berat di dalam hatinya. Setelah menerima keterangan dari Abu Bakar dan juga pengakuan atas kesalahan yang telah ia lakukan, ia menyatakan sangat menyesal atas kejadian itu, maka Rasulullah merasa sangat prihatin; Beliau ingat kebaikan dua sahabat yang terkemuka itu, Beliau berat kepada mereka berdua yang kini tersiksa batinnya.
Diantara yang diucapkan oleh Abu Bakar ialah :
إِنَّهُ كَانَ بَيْنِى وَ بَيْنَ عُمَرَ شَيْءٌ, فَأَسْرَعْتُ إِلَيْهِ, ثُمَّ نَدِمْتُ فَسَأَلْتُهُ أَنْ يَغْفِرَلِى, فَأَبَى عَلَيَّ, فَأَقْبَلْتُ إِلَيْكَ.
“Sesungguhnya antara aku dan Umar ada sesuatu terlompat dari lisanku tanpa disadari. Aku telah melukai hatinya, kemudian aku menyesal, lalu aku minta kepadanya supaya ia mengampuniku, ia menolak, dan kini aku menghadap kepadamu.” (Riwayat Al-Bukhari)
Lalu Rasulullah berdo’a dan meyakinkan bahwa Allah pasti akan mengampuni mereka. Beliau mengucapkan do’a itu sebanyak tiga kali.
Kemudian Umar pun menyesal atas perbuatannya karena ia menutup pintu waktu Abu Bakar datang meminta maaf. Lalu ia pergi ke rumah Abu Bakar, tetapi ternyata Abu Bakar tidak ada di rumahnya. Kemudian ia pergi ke rumah Rasulullah, dan di sana mereka bertemu; kedua sahabat itu bukan menghitung-hitung jasa dan bukan pula membela diri supaya dia yang benar sementara yang lain salah, tetapi kebalikan dari itu.
Abu Bakar berkata :
أَنَا كُنْتُ أَظْلَمَ, أَنَا كُنْتُ أَظْلَمَ.
“Aku yang lebih zalim, aku yang lebih zalim.” (Riwayat Al-Bukhari)
Dengan demikian, suasana menjadi jernih kembali; mereka saling memaafkan, dan kenikmatan persahabatan menghapus semua rasa kesumat dan kedengkian berkat ketakwaan mereka yang mendorong untuk kembali ke jalan yang aman, yang di ridhoi Allah.
Kita mesti melupakan yang patut di lupakan, dan kita tidak boleh lupa akan sesuatu yang tidak boleh dilupakan, yaitu kebaikan orang kepada kita, atau jasa-jasa baiknya pada masyarakat.
Sehubungan dengan kejadian itu Rasulullah SAW., menerangkan kebaikan Abu Bakar, yaitu :
إِنَّ اللهَ بَعَثَنِى إِلَيْكُمْ رَسُوْلًا, فَقُلْتُمْ كَذَبْتَ, وَقَالَ أَبُوْبَكْرٍ : صَدَقْتَ وَأَسَانِى بِنَفْسِهِ وَمَا لِهِ فَهَلْ أَنْتُمْ تَارِكُوْلِى صَاحِبِهِ, مَرَّتَيْنِ, فَمَا أَوْذِيَ بَعْدَهَا.
“Sesungguhnya Allah mengutusku kepada kamu sebaagai rasul, lalu kamu pada waktu itu berkata, ‘Kamu dusta’ Tetapi Abu Bakar (waktu itu) berkata, ‘Kamu benar’ Dan ia membantuku dengan jasa-jasa baiknya dan dengan hartanya. Dapatkah kiranya kamu membiarkan untukku sahabatku (ia ucapkan dua kali). Setelah itu Abu Bakar tidak pernah disakiti.” (Al-Bukhari 7:17)
Perbuatan para sahabat itu sesuai dengan firman Allah sebagai berikut :
إِنَّ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا اِذَا مَسَّهُمْ طَآئِفٌ مِّنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوْا فَإِذَاهُمْ مُّبْصِرُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (Al-‘Araf : 201)
[] Di kutip dari buku/kitab : Renungan Tarikh, K.H.E. Abdurrahman.
[] Editing by: Alfani Kamil
Bila suami istri berakhlak seperti itu, maka rumah tangganya akan menjadi surga dunia. Sebaliknya, bila mereka rajin menghitung-hitung jasa dan kebaikan dirinya kepada orang lain, maka rumah tangga atau persahabatannya akan kehilangan mawaddah dan rahmah, dan akan tumbuh dengan subur kebencian dan kedengkian; pada saat seperti itu pihak ketiga ikut meniup-niupkan api permusuhan.
Sayyidina Umar adalah seorang sahabat yang dikatakan oleh Rasulullah bahwa setan segan untuk mengganggunya. Ia seorang yang kuat dank eras, tetapi ia tetap manusia. Sewaktu ia tersinggung oleh ucapan Abu Bakar, hatinya luka; ia pulang, dan Abu Bakar ditinggalkannya untuk menjaga agar luka hatinya tidak bertambah parah. Kesempatan itu tidak dijadikan kesempatan oleh setan untuk di adudombakan. Abu Bakar menyesal, salah atau benar tindakan dan sikap dirinya tidak menjadi pertimbangan yang nyata.
Abu Bakar pergi ke rumah Umar untuk meminta maaf, sebab ia merasa bersalah. Dia tidak membiarkan perasaan buruk itu menghantui dirinya sendiri, sebab hati nurani itu selalu jujur; ia mengakui kesalahan dan kekeliruannya sekalipun lidahnya memungkiri.
Yang penting bukan cinta, tetapi dicintai. Kecintaan yang tidak mendapatkan balasan akan beralih menjadi azab, menjadi siksaan batin, sebab yang menjadi kenikmatan itu adalah dicintai orang, dan yang mendorong untuk berkurban ialah kecintaan.
Abu Bakar merasa tersiksa batinnya tatkala ia ditolak oleh Umar, Umar tidak mau member maaf kepadanya. Ia (Umar) tidak kuat menahan kepedihan hatinya karena niat baiknya tidak diterima. Lalu dia (Abu Bakar) pergi menghadap Rasulullah SAW.
Sungguh tajam firasat Rasulullah SAW., beliau mengetahui Abu Bakar datang membawa sesuatu yang berat di dalam hatinya. Setelah menerima keterangan dari Abu Bakar dan juga pengakuan atas kesalahan yang telah ia lakukan, ia menyatakan sangat menyesal atas kejadian itu, maka Rasulullah merasa sangat prihatin; Beliau ingat kebaikan dua sahabat yang terkemuka itu, Beliau berat kepada mereka berdua yang kini tersiksa batinnya.
Diantara yang diucapkan oleh Abu Bakar ialah :
إِنَّهُ كَانَ بَيْنِى وَ بَيْنَ عُمَرَ شَيْءٌ, فَأَسْرَعْتُ إِلَيْهِ, ثُمَّ نَدِمْتُ فَسَأَلْتُهُ أَنْ يَغْفِرَلِى, فَأَبَى عَلَيَّ, فَأَقْبَلْتُ إِلَيْكَ.
“Sesungguhnya antara aku dan Umar ada sesuatu terlompat dari lisanku tanpa disadari. Aku telah melukai hatinya, kemudian aku menyesal, lalu aku minta kepadanya supaya ia mengampuniku, ia menolak, dan kini aku menghadap kepadamu.” (Riwayat Al-Bukhari)
Lalu Rasulullah berdo’a dan meyakinkan bahwa Allah pasti akan mengampuni mereka. Beliau mengucapkan do’a itu sebanyak tiga kali.
Kemudian Umar pun menyesal atas perbuatannya karena ia menutup pintu waktu Abu Bakar datang meminta maaf. Lalu ia pergi ke rumah Abu Bakar, tetapi ternyata Abu Bakar tidak ada di rumahnya. Kemudian ia pergi ke rumah Rasulullah, dan di sana mereka bertemu; kedua sahabat itu bukan menghitung-hitung jasa dan bukan pula membela diri supaya dia yang benar sementara yang lain salah, tetapi kebalikan dari itu.
Abu Bakar berkata :
أَنَا كُنْتُ أَظْلَمَ, أَنَا كُنْتُ أَظْلَمَ.
“Aku yang lebih zalim, aku yang lebih zalim.” (Riwayat Al-Bukhari)
Dengan demikian, suasana menjadi jernih kembali; mereka saling memaafkan, dan kenikmatan persahabatan menghapus semua rasa kesumat dan kedengkian berkat ketakwaan mereka yang mendorong untuk kembali ke jalan yang aman, yang di ridhoi Allah.
Kita mesti melupakan yang patut di lupakan, dan kita tidak boleh lupa akan sesuatu yang tidak boleh dilupakan, yaitu kebaikan orang kepada kita, atau jasa-jasa baiknya pada masyarakat.
Sehubungan dengan kejadian itu Rasulullah SAW., menerangkan kebaikan Abu Bakar, yaitu :
إِنَّ اللهَ بَعَثَنِى إِلَيْكُمْ رَسُوْلًا, فَقُلْتُمْ كَذَبْتَ, وَقَالَ أَبُوْبَكْرٍ : صَدَقْتَ وَأَسَانِى بِنَفْسِهِ وَمَا لِهِ فَهَلْ أَنْتُمْ تَارِكُوْلِى صَاحِبِهِ, مَرَّتَيْنِ, فَمَا أَوْذِيَ بَعْدَهَا.
“Sesungguhnya Allah mengutusku kepada kamu sebaagai rasul, lalu kamu pada waktu itu berkata, ‘Kamu dusta’ Tetapi Abu Bakar (waktu itu) berkata, ‘Kamu benar’ Dan ia membantuku dengan jasa-jasa baiknya dan dengan hartanya. Dapatkah kiranya kamu membiarkan untukku sahabatku (ia ucapkan dua kali). Setelah itu Abu Bakar tidak pernah disakiti.” (Al-Bukhari 7:17)
Perbuatan para sahabat itu sesuai dengan firman Allah sebagai berikut :
إِنَّ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا اِذَا مَسَّهُمْ طَآئِفٌ مِّنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوْا فَإِذَاهُمْ مُّبْصِرُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (Al-‘Araf : 201)
[] Di kutip dari buku/kitab : Renungan Tarikh, K.H.E. Abdurrahman.
[] Editing by: Alfani Kamil
COMMENTS