Nasehat Umar bin Khattab tentang keharusan menjaga memperhatikan sholat, belajar agama, akhirat dan memperhatikan orang-orang kecil (rakyat)
Pajagalan.com - Dia adalah Abu Hafsh Umar bin Khaththab bin Nufail al-Adawy al-Qurasyi, nasabnya bertemu dengan Rasulullah SAW pada Ka’ab bin Lu`ay. Dia masuk Islam pada tahun ke enam. Ada yang berpendapat tahun ke lima pada saat berusia kira-kira dua puluh enam tahun.
Dengan masuk islamnya Umar radhiyallahu ‘anhu, Islam menjadi kuat. Ia berhijrah secara terang-terangan[1], menghadiri perang Badar, Uhud dan semua peperangan. Ia adalah khalifah pertama yang dipanggil Amirul Mukminin, yang pertama-tama menulis kalender bagi kaum muslimin, yang pertama kali mengumpulkan manusia untuk shalat Tarawih, yang pertama-tama jaga malam hari dalam pekerjaannya, menaklukkan berbagai negeri[2], membangun berbagai kota, mengangkat para qadhi (hakim), melakukan pembukuan negara, memberikan tunjangan, dan berhaji bersama istri-istri Rasulullah SAW di akhir haji yang dilakukannya.
Dia memegang jabatan khalifah berdasarkan wasiat/penunjukan dari Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Ketika Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu wafat pada malam selasa tanggal 23 Jumadil Akhir tahun ke 13 H, Umar radhiyallahu ‘anhu menerima jabatan khalifah di pagi hari wafatnya Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Dia memegang jabatan khalifah sekitar sepuluh tahun. Ia dibunuh oleh Abu Lu`lu al-Farisi al-Majusi dengan senjata tajam di tubuhnya pada saat shalat Subuh, dan setelah itu ia masih hidup tiga malam. Ini adalah di akhir bulan Dzulhijjah tahun 23 H.
Adapun mutiara-mutiara nasehat yang diriwayatkan darinya sangatlah banyak, di antara mutiara nasehat tersebut adalah:
Dari Miswar bin Makhramah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya dia bersama Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkunjung kepada Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu (saat sakit, menjelang wafat), keduanya berkata: ‘Shalat, wahai Amirul Mukminin’, setelah pagi mulai terang. Ia menjawab:
« نَعَمْ ، وَلاَحَظَّ لِلْإِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ»
Lalu ia shalat, sedangkan luka masih mengeluarkan darah.Sesungguhnya engkau membaca nasehat Umar radhiyallahu ‘anhu ini tentang shalat di saat menjelang wafatnya dan menghadap alam akhirat, serta akan meninggalkan dunia, agar engkau mengingat wafat imam dan nabinya yang berpesan tentang shalat di saat menjelang wafatnya beliau:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اَلصَّلاَةَ ، اَلصَّلاَةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ » [ أخرجه أحمد والحاكم ]
Sedangkan beliau sakit parah dan pingsan, lalu siuman, beliau tidak memulai ucapan selain pertanyaan ‘Apakah orang-orang (kaum muslimin) sudah shalat? kemudian beliau pingsan, kemudian siuman/sadar. Kemudian beliau mengulangi pertanyaan ‘Apakah orang orang sudah shalat?[4]
Inilah al-Faruq, mengulangi perjalanan sejarah, menelusuri lorong yang sama! Maka dia menasehati kita secara ucapan dan perbuatan: ‘Tidak ada bagian di dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat’. Adapun nasehatnya secara perbuatan, yaitu ketika dia shalat sementara lukanya masih meneteskan darah!
Sesungguhnya sikap seperti ini ditunjukkan bagi orang orang yang lalai dalam shalat hanya karena satu dari sekian banyak sebab, atau malah terus-menerus meninggalkannya –kita berlindung kepada Allah Shubhanahu wa ta’ala- agama apakah yang masih tersisa apabila sudah gugur pondasinya?
Al-Faruq radhiyallahu ‘anhu berkata:
« تَفَقَّهُوْا قَبْلَ أَنْ تُسَوَّدُوْا »
Inilah nasehat agung yang disampaikan Umar al-Faruq radhiyallahu ‘anhu, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya secara mu’allaq (tanpa sanad) dan ia memberi komentar dengan kalimat: ‘Dan setelah menjadi penjabat (pemimpin), karena sesungguhnya para sahabat Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam tetap belajar di usia senja mereka.’
Imam al-Bukhari memberi komentar dengan ungkapan ‘Dan setelah menjadi pemimpin’ karena khawatir ada yang justru memahami dari kata-kata itu bahwa kepemimpinan bisa menghalangi dari belajar agama. Sesungguhnya yang dimaksudkan Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia bisa menjadi penghalang, karena pimpinan terkadang dihalangi oleh sikap sombong dan malu/enggan untuk duduk seperti duduknya para penuntut ilmu.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: ‘Apakah anak muda maju (sebagai pemimpin), berarti ia kehilangan ilmu yang sangat banyak.’Abu ‘Ubaid memberikan penjelasan ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu di atas seraya berkata: ‘Belajarlah ilmu agama di saat kamu kecil sebelum engkau menjadi pemimpin, maka sikap sombong bisa menghalangimu mengambil (belajar ilmu agama) dari orang yang lebih rendah kedudukannya darimu, maka engkau tetap menjadi bodoh.’[5]
Al-Faruq mengisyaratkan dalam nasehatnya ini tentang penyakit yang mulai menular di dalam jiwa sebagian kaum muslimin, sebagaimana yang dijelaskan para imam. Akan tetapi apa yang dikatakan tentang orang yang tidak belajar, bukan karena terhalang tugas kepemimpinan, jabatan, kedudukan dan pangkat, namun ia dirintangi oleh sikap sombong untuk duduk belajar hanya karena usianya yang sudah tua?
Sesungguhnya dalam belajarnya para sahabat Nabi merupakan suri tauladan yang harus diikuti, seperti yang dikatakan oleh al-Bukhari rahimahullah. Sesungguhnya di antara yang menyebabkan kehinaan seorang laki-laki adalah kerelaannya dengan kebodohannya tentang persoalan agama yang dibutuhkannya, lalu ia tidak belajar dan tidak bertanya tentang hal itu!
Di antara gambaran yang orang-orang merasa terganggu karena sering diulang adalah: engkau melihat seorang pemuda –terlebih lagi orang yang sudah tua- melantunkan al-Qur`an dengan suara yang indah, kendati demikian ia enggan belajar di halaqah tahfizhul Qur`an, karena khawatir duduk di hadapan guru yang seusia anak-anaknya.
Al-Faruq radhiyallahu ‘anhu berkata[6]:
« اَلتُّؤَدَةُ فِى كُلِّ شَيْئٍ خَيْرٌ إِلاَّ مَا كَانَ مِنْ أَمْرِ اْلآخِرَةِ »
Ini adalah pelurusan dari al-Faruq untuk pemahaman yang terkadang bercampur aduk terhadap sebagian orang. Hal itu karena bangsa Arab sepakat mencela sikap terburu-buru secara umum. Bangsa Arab memberinya gelar ‘Ummun-Nadamat’ (ibu/induk penyesalan). Mereka mempunyai hikmah-hikmah yang tersebar dan sya’ir-sya’ir yang masyhur (terkenal). Namun sesungguhnya pemahaman ini –seperti yang diungkapkan al-Faruq- tidak sepantasnya diberlakukan dalam urusan akhirat. Bahkan bersegara kepadanya sangat terpuji dan dituntut, karena manusia tidak pernah tahu kapan ajalnya memutuskannya, maka ia harus bersegera dan tidak menunda-nunda.
Apabila telah tiba kesempatan untuk beribadah dan memperbanyak dari pintu-pintu kebaikan, maka tidak baik perlahan lahan di sini, bahkan dicela. Sesungguhnya Allah Shubhanahu wa ta’ala berfirman dalam beberapa ayat:
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ﴾ [البقرة: 148]
Di antara gambaran yang disebutkan para ulama bahwa ada beberapa perbuatan yang menjadi tercela akibat menunda-nunda dalam menunaikannya adalah: taubat, membayar hutang, memuliakan tamu, mengurus jenazah. Maka ia termasuk perkara perkara yang dianjurkan bersegera dan cepat-cepat dalam melaksanakannya menurut cara yang syar’i.
Termasuk yang dihubungkan dengan hal itu adalah: muhasabah (intropeksi) diri, maka tidak sepantasnya bagi orang yang mengharap Rabb-nya dan negeri akhirat menunda-nunda muhasabah dirinya, namun ia harus bersegera. Sebagaimana yang dikatakan al-Faruq radhiyallahu ‘anhu ‘Hisablah dirimu sebelum dihisab, timbanglah amal perbuatanmu sebelum kamu ditimbang, sesungguhnya lebih mudah bagimu dihisab besok (hari kiamat) bahwa kamu lebih dulu menghisab dirimu, hiasilah diri untuk penampilan yang besar, di hari kamu dihadapkan, tidak samar darimu sesuatu yang samar.![7]
Sangat banyak orang yang menunda-nunda dalam urusan akhirat pada akhirnya merasakan penyesalan. Al-Qur`an menjelaskan gambaran ini dalam beberapa tempat, seperti firman Allah Shubhanahu wa ta’ala:
﴿قُلْ يَاعِبَادِي الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لاَتَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ {53} وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لاَتُنصَرُونَ {54} وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَآأُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنتُمْ لاَتَشْعُرُونَ {55} أَن تَقُولَ نَفْسٌ يَاحَسْرَتَى عَلَى مَافَرَّطتُ فِي جَنْبِ اللهِ وَإِن كُنتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ {56} ﴾ [الزمر: 53-56]
Al-Faruq radhiyallahu ‘anhu berkata:
« لاَأُبَالِى عَلَى أَيِّ حَالٍ أَصْبَحْتُ! عَلَى مَا أُحِبُّ أَمْ عَلَى مَا أَكْرَهُ, ذلِكَ بِأَنِّي لَاأَدْرِي الخِيرَةُ فِيْمَا أُحِبُّ أَمْ فِيْمَا أَكْرَهُ »
Sungguh merupakan pelajaran yang dalam. Kita perlu melatih diri kita untuk mempelajarinya, mentarbiyah hati kita untuk hidup bersamanya.Alangkah banyak peristiwa yang kita alami, baik individu maupun sosial masyarakat, kita melihat nampaknya merupakan keburukan dan ternyata kebaikan ada padanya. Ini adalah seperti firman Allah Shubhanahu wa ta’ala
﴿ وَعَسَى أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرُُ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ ﴾ [البقرة: 216]
Dan firman-Nya:
﴿ فَعَسَى أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا ﴾ [النساء: 19]
Sungguh terjadi sekitar dua minggu yang lalu, dua orang saudara bercerita tentang musibah yang dialaminya dan ia sangat tidak menyukainya. Demi Allah, aku tidak menemukan untukku dan keduanya penghibur kecuali mengingatkan dengan dua ayat ini, dan seperti yang disebutkan al-Faruq radhiyallahu ‘anhu. Hingga salah seorang darinya berkata kepadaku tatkala terjadi yang tidak disukai: ‘Demi Allah, sesungguhnya tatkala aku merenungkan ayat ini:
﴿ فَعَسَى أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا ﴾ [النساء: 19]
Aku membacanya dengan tadabbur, aku mendapatkan rasa lapang dan ketenangan.
Sungguh sangat banyak problematika dalam kehidupan manusia dan sangat bervariasi, namun tetap ada Kalamullah (al-Qur`an al-Karim), Ucapan rasul-Nya, kemudian mutiara mutiara nasehat para sahabatnya yang menyejukkan, kita mengobati luka kehidupan dengannya.
Footnote:
[1]Sementara para sahabat lainnya hijrah secara sembunyi sembunyi.
[2]Al-A’lam karya Zirikly 5/45: di masa pemerintahannya selesai penaklukan Syam, Iraq, Baitul Maqdis, Mada’in, Mesir, Jazirah. Sehingga dikatakan: Di masa kekhalifahannya ada 12.000 minbar jum’at di dalam Islam.
[3]HR. Ahmad 12169, Hakim dalam Mustadrak 4388.
[4]HR. Al-Bukhari 687 dan Muslim 418.
[5]Fathul Bari karya Ibnu Hajar 1/166.
[6]Zuhd, karya Imam Ahmad hal 98.
[7]Zuhd karya imam Ahmad hal. 108.
Oleh: DR. Umar bin Abdullah bin Muhammad al-Muqbil
Penerjemah: Muhammad Iqbal A. Gazali
Dipublikasikan oleh Pajagalan.com dari www.mukminun.com
COMMENTS