Syiah dalam Sorotan Buya Hamka. Laju perkembangan Syiah di Indonesia sepanjang 35 tahun belakangan harus kita waspadai. Dulu sebelum tahun 1997, mereka hanya bergerak di jalur pendidikan, penerbitan, dan mempromosikan diri lewat ajaran Tasawuf. Maka setelah runtuhnya Orde baru, mereka mulai berani menampakkan diri melalui jalur parlemen, jejaring media sosial dan Iranian Corner.
Ini adalah artikel kiriman, Anda pun dapat mengirim artikel untuk dimuat disini, kirim artikel Anda.
Syiah dalam Sorotan Buya Hamka
Oleh: Fadh ahmad Arifan
(Pendidik di Madrasah Aliyah Muhammadiyah 2, Kota Malang, Jawa timur)
A. Pendahuluan
Laju perkembangan Syiah di Indonesia sepanjang 35 tahun belakangan harus kita waspadai. Dulu sebelum tahun 1997, mereka hanya bergerak di jalur pendidikan, penerbitan, dan mempromosikan diri lewat ajaran Tasawuf. Maka setelah runtuhnya Orde baru, mereka mulai berani menampakkan diri melalui jalur parlemen, jejaring media sosial dan Iranian Corner.
Baru-baru ini isu Syiah kembali mencuat ke permukaan, tepatnya di masalah pemblokiran 22 situs Islam. Yang dikatakan kepada masyarakat awam bahwa usulan pemblokiran situs ke Kominfo datang dari BNPT. Lucunya BNPT cuci tangan dan salahkan Kominfo yang blokir situs-situs tersebut (jpnn.com, 5 April 2015). Jangan lupa satu hal, kalangan Syiah di Indonesia patut kita curigai. Bila pembaca membuka situs syiahaliwordpress.com, disitu terpampang tulisan “Mendukung Kominfo dan BNPT Memblokir Situs Radikal anti Syiah”.
Dari berbagai situsnya, Syiah berusaha membangun “citra palsu” sebagai Ahlu bait, dekat dengan kultur NU dan mengklaim bagian dari Islam. Bahkan tak segan mengutip statemen tokoh-tokoh beken seperti Prof Said aqil siraj, KH. Hasyim muzadi, Prof Dr Quraish shihab, Prof Dr Machasin MA, Prof Ahmad Syafii ma’arif, Sir Azyumardi azra, hingga Buya Hamka. Tujuan dari itu semua adalah ingin memberitahukan kepada khalayak umum bahwa Syiah bukan aliran sesat seperti yang difatwakan MUI Jatim.
Mengacu pada judul artikel ini, yang akan diulas lebih lanjut adalah Buya Hamka. Dimana statemen maupun pandangan beliau dipajang dibeberapa situs dan terkadang digambarkan memihak Syiah. Mungkinkah Buya Hamka seperti demikian? Artikel ini menggunakan pendekatan kepustakaan dengan merujuk langsung ke buku-buku Buya Hamka dan dilengkapi dengan buku-buku yang relevan.
1. Syiah dan Sempalannya
Di era modern, Iran dikenal negeri mayoritas penganut Syiah. Iran mengadopsi Syiah sejak dinasti Shafawi berkuasa (1502 M). Kepercayaan tentang imam yang Ghaib, mengatur dunia dan agama disuatu tempat yang rahasia menjadi kepercayaan yang merata dan mendalam di sana. Jika Asy-syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal, membagi Syiah ke dalam 5 kelompok besar, yaitu Kisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, Syiah ghulat dan Isma’iliyah. Maka Hamka membagi Syiah menjadi 4 kelompok besar, yaitu Kisaniyah, Isma’iliyah, Itsna ‘Asyariyah dan Zaidiyah (Hamka, Pelajaran Agama Islam, th 1989, hal 237).
Zaman sekarang Syiah Kisaniyah sudah tidak ada lagi. Sedangkan Ismailiyah di era modern diteruskan oleh Aga khan. Masih menurut Hamka, hanya Syiah zaidiyah yang agak dekat dengan Sunni. Mereka tidak begitu meyakini Imam ghaib yang amat dinanti-nanti kedatangannya oleh Syiah Itsna ‘Asyariyah. Istna ‘Asyariyah punya doktrin yaitu tidak sah menjadi Syiah kalau tidak percaya Imam ghaib datang kembali (Hamka, hal 238).
Di dalam buku Pelajaran agama Islam, Hamka punya argumen yang menarik. Saking getolnya menunggu Imam yang ghaib, muncul sempalan-sempalan di tengah Syiah Itsna ‘Asyariyah. Mulai dari Syaikhiyah, Babiyah hingga Bahaiyah. Baik Babiyah maupun Bahaiyah sama-sama mengadopsi doktrin “Allah menjelma dalam dirinya” (Hamka, hal 241-242).
2. Dinasti penyokong Syiah
Di dalam lembaran sejarah peradaban Islam tercatat salah satu sebab masih bertahannya aliran Syiah karena disokong kekuatan politik. Kekuatan politik yang dimaksud disini yaitu Dinasti syafawiyah dan Fatimiyah. Syafawi ini menurut Hamka berasal dari Tarekat sufi yang didirikan Syeikh haidar. Dia membuat lambang baru untuk pengikut Tarekatnya, yaitu sorban merah mempunyai 12 jambul, sebagai lambing 12 Imam yang diagungkan di dalam Syiah Itsna ‘Asyariyah. Haidar punya putera bernama Ismail. Ismail ini, oleh Hamka ditetapkan sebagai pendiri Dinasti syafawiyah.
Ismail ditetapkan sebagai Raja besar dari negeri Iran dan pembela ajaran Syiah di usia 15 tahun. Syiah diadopsi menjadi mazhab resmi dan diperintahkannya kepada Khatib-khatib Jum’at supaya memaki-maki khalifah yang tiga: Abu bakar, Umar dan Usman. Ismail meski fanatik Syiah, dia sering gagal menaklukkan Sultan Salim. Dia terpaksa mengikat perdamaian dan tidak berani memerangi Turki usmani, sampai Sultan Salim wafat (Hamka, Sejarah Umat Islam, hal 439-441).
3. Hasyasyin
Kisah kelompok Hasyasyin atau yang di Barat dikenal dengan Assassin sempat muncul kembali di film Prince of Persia: The Sands of time (2010). Di dalam film tersebut, kelompok Assassin berpakaian serba hitam, ahli bergerilya dan mempraktekkan sihir. Michael Bradley memasukkan Assassin ke dalam daftar 21 Secret society perusak dunia bersama Freemasonry, Illuminati, Templar, Opus dei, Triad dan lain-lain. Lebih lanjut Bradley menulis, Assassin sebagai kelompok rahasia sekaligus para penghisap ganja. Mereka berusaha merebut tahta kepemimpinan Islam dengan cara-cara kekerasan. Pemimpin Assassin punya kebiasaan minum anggur hingga mabuk, lebih fatal lagi, menghalalkan membunuh umat Islam dengan dalih Jihad. Pada abad 16 M, pertahanan terakhir Assassin di Syria berhasil ditumpas oleh Turki Usmani (Michael Bradley, th 2008, hal 19-27).
Terkait Assassin, Hamka menulis, kelompok yang dikendalikan Hasan Sabah ini tidak mau mengakui segala macam kekuasaan termasuk menentang Khalifah di Baghdad. Pengikut setianya direkrut dari orang-orang melarat dan didoktrinkan kepada mereka perasaan anti-kekuasaan. Dan dijanjikan kepada mereka bahwa Imam yang ghaib itu sudah dekat datangnya untuk membawa keadilan sejati. Pengikut Hasan Sabah harus taat atas perintah, orang-orang yang diperintahkannya dibunuh mesti mati. Baik di jalan raya maupun di dalam istananya sendiri dengan tidak diketahui siapa pembunuhnya. (Hamka, Sejarah umat Islam, hal 423-424).
4. Kami bukan Penganut Syiah
Ketika Hamka berkunjung ke Najaf dan Karbala (Oktober 1950), penunjuk jalan menanyakan datang dari mana dan mazhab apa. Lalu Hamka menjawab dirinya dari Indonesia dan bermazhab Syafi’i. Muzawwir, sang penunjuk jalan tadi mengatakan, “Mazhab Syafi’i adalah mazhab yang paling dekat dengan Syiah dan paling cinta kepada Husain”. “Maaf, saya tidak bermazhab Syiah, tetapi saya mencintai Husain!” Jawab Hamka. (Kata pengantar buya Hamka dalam buku “Al-Husain bin Ali: Pahlawan besar dan Kehidupan Islam pada Zamannya”, karya M. al-Hamid al-Husaini, th 1978, hal xi)
Pendirian Hamka terhadap Syiah maupun isu Revolusi islam, ditegaskan lagi dalam artikelnya di harian Kompas (1980), “Saya tetap seorang Sunni yang tak perlu berpegang pada pendapat orang Syiah dan ajaran-ajaran Ayatullah”. Beliau menasehati kepada 4 pemuda yang berencana ke Indonesia dan mengajarkan Revolusi islam Syiah, “Boleh datang sebagai tamu, tetapi ingat, kami adalah Bangsa merdeka dan tidak menganut Syiah.” kata Hamka (Buku Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia, th 2013, hal 139).
B. Kesimpulan
Pendirian Buya Hamka terhadap aliran sesat Syiah sudah jelas. Tidak ada pandangan atau statemen beliau yang membenarkan ajaran-ajaran Syiah. Buktinya Hamka pernah menyentil Syiah sebagai kelompok “Yang hormat berlebih-lebihan, sampai mengatakan keturunan Hasan dan Husain itu tidak pernah berdosa, dan kalau berbuat dosa segera diampuni Allah adalah ajaran (dari suatu aliran-penulis) kaum Syi’ah yang berlebih-lebihan.” (Baca Panji Masyarakat edisi 15 Februari 1975)
Bukan soal Syiah saja nama Hamka dicatut. Dalam isu Pluralisme agama, pendapat Hamka di dalam Tafsir al-Azhar pun dimanipulasi sedemikian rupa dan disimpulkan keliru oleh pemuja proyek Liberalisme (Baca tulisan Dr Adian husaini, “Hamka dan Pluralisme Agama”, Uhamka Press, 2008, hal 313-318).
Sebelum menutup artikel ini, selain Syiah dan paham Pluralisme agama. Nama besar seorang Buya Hamka dicatut juga oleh pengikut Tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah (TQN) di Suryalaya. Dikatakan Hamka telah dibaiat oleh Abah Anom. Namun anehnya tidak ada bukti kuat, yang ada hanya foto Hamka bersama Abah anom saja. Salah seorang putra Hamka, Ust Afif Hamka membantah keras bahwa seseorang yang bergelar Buya (khususnya yang berlaku di ranah Minang) tidak bakalan ikutan Tarekat-tarekat sufi (lihat Fadh ahmad arifan, “Buya Hamka dibaiat Abah Anom?”, Islampos tgl 3 Desember 2014). Wallahu’allam bishowwab
Syiah dalam Sorotan Buya Hamka
Oleh: Fadh ahmad Arifan
(Pendidik di Madrasah Aliyah Muhammadiyah 2, Kota Malang, Jawa timur)
![]() |
Buya Hamka |
Laju perkembangan Syiah di Indonesia sepanjang 35 tahun belakangan harus kita waspadai. Dulu sebelum tahun 1997, mereka hanya bergerak di jalur pendidikan, penerbitan, dan mempromosikan diri lewat ajaran Tasawuf. Maka setelah runtuhnya Orde baru, mereka mulai berani menampakkan diri melalui jalur parlemen, jejaring media sosial dan Iranian Corner.
Baru-baru ini isu Syiah kembali mencuat ke permukaan, tepatnya di masalah pemblokiran 22 situs Islam. Yang dikatakan kepada masyarakat awam bahwa usulan pemblokiran situs ke Kominfo datang dari BNPT. Lucunya BNPT cuci tangan dan salahkan Kominfo yang blokir situs-situs tersebut (jpnn.com, 5 April 2015). Jangan lupa satu hal, kalangan Syiah di Indonesia patut kita curigai. Bila pembaca membuka situs syiahaliwordpress.com, disitu terpampang tulisan “Mendukung Kominfo dan BNPT Memblokir Situs Radikal anti Syiah”.
Dari berbagai situsnya, Syiah berusaha membangun “citra palsu” sebagai Ahlu bait, dekat dengan kultur NU dan mengklaim bagian dari Islam. Bahkan tak segan mengutip statemen tokoh-tokoh beken seperti Prof Said aqil siraj, KH. Hasyim muzadi, Prof Dr Quraish shihab, Prof Dr Machasin MA, Prof Ahmad Syafii ma’arif, Sir Azyumardi azra, hingga Buya Hamka. Tujuan dari itu semua adalah ingin memberitahukan kepada khalayak umum bahwa Syiah bukan aliran sesat seperti yang difatwakan MUI Jatim.
Mengacu pada judul artikel ini, yang akan diulas lebih lanjut adalah Buya Hamka. Dimana statemen maupun pandangan beliau dipajang dibeberapa situs dan terkadang digambarkan memihak Syiah. Mungkinkah Buya Hamka seperti demikian? Artikel ini menggunakan pendekatan kepustakaan dengan merujuk langsung ke buku-buku Buya Hamka dan dilengkapi dengan buku-buku yang relevan.
1. Syiah dan Sempalannya
Di era modern, Iran dikenal negeri mayoritas penganut Syiah. Iran mengadopsi Syiah sejak dinasti Shafawi berkuasa (1502 M). Kepercayaan tentang imam yang Ghaib, mengatur dunia dan agama disuatu tempat yang rahasia menjadi kepercayaan yang merata dan mendalam di sana. Jika Asy-syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal, membagi Syiah ke dalam 5 kelompok besar, yaitu Kisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, Syiah ghulat dan Isma’iliyah. Maka Hamka membagi Syiah menjadi 4 kelompok besar, yaitu Kisaniyah, Isma’iliyah, Itsna ‘Asyariyah dan Zaidiyah (Hamka, Pelajaran Agama Islam, th 1989, hal 237).
Zaman sekarang Syiah Kisaniyah sudah tidak ada lagi. Sedangkan Ismailiyah di era modern diteruskan oleh Aga khan. Masih menurut Hamka, hanya Syiah zaidiyah yang agak dekat dengan Sunni. Mereka tidak begitu meyakini Imam ghaib yang amat dinanti-nanti kedatangannya oleh Syiah Itsna ‘Asyariyah. Istna ‘Asyariyah punya doktrin yaitu tidak sah menjadi Syiah kalau tidak percaya Imam ghaib datang kembali (Hamka, hal 238).
Di dalam buku Pelajaran agama Islam, Hamka punya argumen yang menarik. Saking getolnya menunggu Imam yang ghaib, muncul sempalan-sempalan di tengah Syiah Itsna ‘Asyariyah. Mulai dari Syaikhiyah, Babiyah hingga Bahaiyah. Baik Babiyah maupun Bahaiyah sama-sama mengadopsi doktrin “Allah menjelma dalam dirinya” (Hamka, hal 241-242).
2. Dinasti penyokong Syiah
Di dalam lembaran sejarah peradaban Islam tercatat salah satu sebab masih bertahannya aliran Syiah karena disokong kekuatan politik. Kekuatan politik yang dimaksud disini yaitu Dinasti syafawiyah dan Fatimiyah. Syafawi ini menurut Hamka berasal dari Tarekat sufi yang didirikan Syeikh haidar. Dia membuat lambang baru untuk pengikut Tarekatnya, yaitu sorban merah mempunyai 12 jambul, sebagai lambing 12 Imam yang diagungkan di dalam Syiah Itsna ‘Asyariyah. Haidar punya putera bernama Ismail. Ismail ini, oleh Hamka ditetapkan sebagai pendiri Dinasti syafawiyah.
Ismail ditetapkan sebagai Raja besar dari negeri Iran dan pembela ajaran Syiah di usia 15 tahun. Syiah diadopsi menjadi mazhab resmi dan diperintahkannya kepada Khatib-khatib Jum’at supaya memaki-maki khalifah yang tiga: Abu bakar, Umar dan Usman. Ismail meski fanatik Syiah, dia sering gagal menaklukkan Sultan Salim. Dia terpaksa mengikat perdamaian dan tidak berani memerangi Turki usmani, sampai Sultan Salim wafat (Hamka, Sejarah Umat Islam, hal 439-441).
3. Hasyasyin
Kisah kelompok Hasyasyin atau yang di Barat dikenal dengan Assassin sempat muncul kembali di film Prince of Persia: The Sands of time (2010). Di dalam film tersebut, kelompok Assassin berpakaian serba hitam, ahli bergerilya dan mempraktekkan sihir. Michael Bradley memasukkan Assassin ke dalam daftar 21 Secret society perusak dunia bersama Freemasonry, Illuminati, Templar, Opus dei, Triad dan lain-lain. Lebih lanjut Bradley menulis, Assassin sebagai kelompok rahasia sekaligus para penghisap ganja. Mereka berusaha merebut tahta kepemimpinan Islam dengan cara-cara kekerasan. Pemimpin Assassin punya kebiasaan minum anggur hingga mabuk, lebih fatal lagi, menghalalkan membunuh umat Islam dengan dalih Jihad. Pada abad 16 M, pertahanan terakhir Assassin di Syria berhasil ditumpas oleh Turki Usmani (Michael Bradley, th 2008, hal 19-27).
Terkait Assassin, Hamka menulis, kelompok yang dikendalikan Hasan Sabah ini tidak mau mengakui segala macam kekuasaan termasuk menentang Khalifah di Baghdad. Pengikut setianya direkrut dari orang-orang melarat dan didoktrinkan kepada mereka perasaan anti-kekuasaan. Dan dijanjikan kepada mereka bahwa Imam yang ghaib itu sudah dekat datangnya untuk membawa keadilan sejati. Pengikut Hasan Sabah harus taat atas perintah, orang-orang yang diperintahkannya dibunuh mesti mati. Baik di jalan raya maupun di dalam istananya sendiri dengan tidak diketahui siapa pembunuhnya. (Hamka, Sejarah umat Islam, hal 423-424).
4. Kami bukan Penganut Syiah
Ketika Hamka berkunjung ke Najaf dan Karbala (Oktober 1950), penunjuk jalan menanyakan datang dari mana dan mazhab apa. Lalu Hamka menjawab dirinya dari Indonesia dan bermazhab Syafi’i. Muzawwir, sang penunjuk jalan tadi mengatakan, “Mazhab Syafi’i adalah mazhab yang paling dekat dengan Syiah dan paling cinta kepada Husain”. “Maaf, saya tidak bermazhab Syiah, tetapi saya mencintai Husain!” Jawab Hamka. (Kata pengantar buya Hamka dalam buku “Al-Husain bin Ali: Pahlawan besar dan Kehidupan Islam pada Zamannya”, karya M. al-Hamid al-Husaini, th 1978, hal xi)
Pendirian Hamka terhadap Syiah maupun isu Revolusi islam, ditegaskan lagi dalam artikelnya di harian Kompas (1980), “Saya tetap seorang Sunni yang tak perlu berpegang pada pendapat orang Syiah dan ajaran-ajaran Ayatullah”. Beliau menasehati kepada 4 pemuda yang berencana ke Indonesia dan mengajarkan Revolusi islam Syiah, “Boleh datang sebagai tamu, tetapi ingat, kami adalah Bangsa merdeka dan tidak menganut Syiah.” kata Hamka (Buku Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia, th 2013, hal 139).
B. Kesimpulan
Pendirian Buya Hamka terhadap aliran sesat Syiah sudah jelas. Tidak ada pandangan atau statemen beliau yang membenarkan ajaran-ajaran Syiah. Buktinya Hamka pernah menyentil Syiah sebagai kelompok “Yang hormat berlebih-lebihan, sampai mengatakan keturunan Hasan dan Husain itu tidak pernah berdosa, dan kalau berbuat dosa segera diampuni Allah adalah ajaran (dari suatu aliran-penulis) kaum Syi’ah yang berlebih-lebihan.” (Baca Panji Masyarakat edisi 15 Februari 1975)
Bukan soal Syiah saja nama Hamka dicatut. Dalam isu Pluralisme agama, pendapat Hamka di dalam Tafsir al-Azhar pun dimanipulasi sedemikian rupa dan disimpulkan keliru oleh pemuja proyek Liberalisme (Baca tulisan Dr Adian husaini, “Hamka dan Pluralisme Agama”, Uhamka Press, 2008, hal 313-318).
Sebelum menutup artikel ini, selain Syiah dan paham Pluralisme agama. Nama besar seorang Buya Hamka dicatut juga oleh pengikut Tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah (TQN) di Suryalaya. Dikatakan Hamka telah dibaiat oleh Abah Anom. Namun anehnya tidak ada bukti kuat, yang ada hanya foto Hamka bersama Abah anom saja. Salah seorang putra Hamka, Ust Afif Hamka membantah keras bahwa seseorang yang bergelar Buya (khususnya yang berlaku di ranah Minang) tidak bakalan ikutan Tarekat-tarekat sufi (lihat Fadh ahmad arifan, “Buya Hamka dibaiat Abah Anom?”, Islampos tgl 3 Desember 2014). Wallahu’allam bishowwab