Kaum Perempuan di Simpang Zaman - Di balik setiap perkembangan zaman, ada peran wanita. Di balik seorang laki-laki hebatm ada peran wanita yang hebat.
Di balik setiap perkembangan zaman, ada peran wanita. Di balik seorang laki-laki hebatm ada peran wanita yang hebat. Begitulah wanita yang mampu mengoncang dunia dengan tangannya tanpa melupakan kodratnya.
Ibnu Taimiyah berkata, “Kebahagiaan dan kesejahteraan wanita dalam agama dan dunianya adalah hemat, sederhana dan seimbang.”
Sebagaimana para tokoh wanita masa lalu yang jasadnya telah dimakan zaman namun namanya tetap mengabadi di lembaran sejarah. Di negri inim 21 April diperingati sebagai hari Kartini yang identik dengan perjuangan wanita yang dinisbatkan pada sosok bernama “Kartini”, berupa perjuangan di bidang pendidikan atau yang paling terkenal adalah perjuangan berupa kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan yang sudah jauh lebih awal diajarkan Islam.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana,” (Qs.At-Taubah:71).
Terlepas dari sosoknya yang kontroversial dalam sejarah, begitulah Kartini yang dikenal dalam rangka menggugah para wanita zaman ini untuk mampu berbuat lebih, tak hanya terkukung oleh doktrin turun-temurun leluhur bahwa “wanita tidak usah sekolah tinggi-tinggilah, baliknya ke dapur lagi”, namun saya ikut berduka saat pemahaman tentang perjuangan hak wanita ini mulai keluar batas aturan, karena terlalu silau dengan budaya Barat.
Padahal, ada banyak fakta dan data yang seharusnya diperhatikan oleh mereka yang terbuai dengan Barat. Di Eropa dan Amerika pada setiap 15 detik terjadi kekerasan atas wanita. Belum lagi jika ditambah dengan kasus perkosaan setiap harinya. Sehingga Amerika tercatat sebagai negara tertinggi dalam hal kekerasan terhadap wanita. Menurut catatan UNICEF, 30% kekerasan pada wanita terjadi di Amerika dan 20% di Inggris. Maka kebebasan apakah ini ???
Kenyataanya, di Indonesia kini terjadi distorsi nilai budaya dan agama, yang berdampak pada moral bangsa. Inilah euforia yang disenandungkan oleh para penyuguh paham liberalisme tentang kebebasan berekspresi. Dengan dalih kebebasan itu, kita hari ini melihat fenomena banyaknya sajian TV yang memunculkan para wanita yang berpakaian tapi telanjang di setiap sinetron bahkan iklan yang sedikit pun tidak ada kaitannya dengan wanita.
Di sisi lain masyarakat awam pun terbentuk persepsinya bahwa wanita yang maju dan berpendidikan, yang memiliki penampilan dan gaya hidup yang hedonis, hal ini diakibatkan karena hari ini tingkat pendidikan perempuan masih rendah, padahal perempuan merupakan setengah dari masyarakat dan pembinaannya dalam mengokohkan tiang negara ini haruslah diperhatikan.
Kesempatan memperoleh pendidikan bagi anak-anak, laki-laki maupun anak perempuan masih sangat rendah. Jika di jaman Kartini, sebagai keluarga ningrat ia hanya berkesempatan bersekolah selama enam (6) tahun, hingga usia 12 tahun, kini rata-rata lama sekolah anak Indonesia adalah 7,7 tahun (angka rata-rata nasional ). Rata-rata lama sekolah anak perempuan lebih pendek (7,3 tahun) dibandingkan rata-rata lama sekolah anak laki-laki (8,2 tahun).
Di beberapa propinsi, lama anak sekolah jauh lebih rendah dari angka rata-rata nasional, seperti Nusa Tenggara Timur (6,6 th), Kalimantan Barat (6,6 th), Sulawesi selatan (7,4 th), Gorontalo (7,2 th) dan Papua (6,4 th).
Data ini menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia di Indonesia umumnya hanya berkesempatan mengenyam pendidikan tingkat SLTP (sekolah Lanjutan Pertama) untuk laki-laki dan perempuan hanya tamat Sekolah Dasar (SD).
Pada gilirannya, tingkat pendidikan yang rendah tersebut akan berdampak pada terbatasnya pilihan-pilihan untuk melakukan berbagai upaya pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak sipil dan politik. Upaya mewujudkan keterwakilan perempuan di lembaga pengambilan keputusan sekurang-kurangnya 30% dari jumlah seluruh pengambil keputusan, besar kemungkinan akan terus mengalami rintangan karena rendahnya tingkat pendidikan perempuan. Bahkan dalam realitanya, rendahnya tingkat pendidikan perempuan mengakibatkan yang bersangkutan menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia, terjebak dalam relasi kerja yang eksploitatif dan predatory.
Memang, tingkat pendidikan salah satu indikator yang mampu menjadi efek bagi faktor yang sosial lain, namun yang terpenting bukan hanya pada pendidikan formal saja, tetapi pendidikan moral dan agama ini sangat penting untuk ditingkatkan terlebih perempuan adalah madarasatul’ula,yang tak hanya mampu menjadi seorang “Kartini” namun dapat menjadi Aisyah yang menjadi rujukan para ulama besar sebagaimana pernyaataan Nabi Saw. “Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humairah (Aisyah)”, hingga akan lahir para wanita yang cerdas, berpendidikan, dan berakhlakul karimah.
Penulis : Najwa Raisa
- Eramuslim.com
Ibnu Taimiyah berkata, “Kebahagiaan dan kesejahteraan wanita dalam agama dan dunianya adalah hemat, sederhana dan seimbang.”
Sebagaimana para tokoh wanita masa lalu yang jasadnya telah dimakan zaman namun namanya tetap mengabadi di lembaran sejarah. Di negri inim 21 April diperingati sebagai hari Kartini yang identik dengan perjuangan wanita yang dinisbatkan pada sosok bernama “Kartini”, berupa perjuangan di bidang pendidikan atau yang paling terkenal adalah perjuangan berupa kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan yang sudah jauh lebih awal diajarkan Islam.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana,” (Qs.At-Taubah:71).
Terlepas dari sosoknya yang kontroversial dalam sejarah, begitulah Kartini yang dikenal dalam rangka menggugah para wanita zaman ini untuk mampu berbuat lebih, tak hanya terkukung oleh doktrin turun-temurun leluhur bahwa “wanita tidak usah sekolah tinggi-tinggilah, baliknya ke dapur lagi”, namun saya ikut berduka saat pemahaman tentang perjuangan hak wanita ini mulai keluar batas aturan, karena terlalu silau dengan budaya Barat.
Padahal, ada banyak fakta dan data yang seharusnya diperhatikan oleh mereka yang terbuai dengan Barat. Di Eropa dan Amerika pada setiap 15 detik terjadi kekerasan atas wanita. Belum lagi jika ditambah dengan kasus perkosaan setiap harinya. Sehingga Amerika tercatat sebagai negara tertinggi dalam hal kekerasan terhadap wanita. Menurut catatan UNICEF, 30% kekerasan pada wanita terjadi di Amerika dan 20% di Inggris. Maka kebebasan apakah ini ???
Kenyataanya, di Indonesia kini terjadi distorsi nilai budaya dan agama, yang berdampak pada moral bangsa. Inilah euforia yang disenandungkan oleh para penyuguh paham liberalisme tentang kebebasan berekspresi. Dengan dalih kebebasan itu, kita hari ini melihat fenomena banyaknya sajian TV yang memunculkan para wanita yang berpakaian tapi telanjang di setiap sinetron bahkan iklan yang sedikit pun tidak ada kaitannya dengan wanita.
Di sisi lain masyarakat awam pun terbentuk persepsinya bahwa wanita yang maju dan berpendidikan, yang memiliki penampilan dan gaya hidup yang hedonis, hal ini diakibatkan karena hari ini tingkat pendidikan perempuan masih rendah, padahal perempuan merupakan setengah dari masyarakat dan pembinaannya dalam mengokohkan tiang negara ini haruslah diperhatikan.
Kesempatan memperoleh pendidikan bagi anak-anak, laki-laki maupun anak perempuan masih sangat rendah. Jika di jaman Kartini, sebagai keluarga ningrat ia hanya berkesempatan bersekolah selama enam (6) tahun, hingga usia 12 tahun, kini rata-rata lama sekolah anak Indonesia adalah 7,7 tahun (angka rata-rata nasional ). Rata-rata lama sekolah anak perempuan lebih pendek (7,3 tahun) dibandingkan rata-rata lama sekolah anak laki-laki (8,2 tahun).
Di beberapa propinsi, lama anak sekolah jauh lebih rendah dari angka rata-rata nasional, seperti Nusa Tenggara Timur (6,6 th), Kalimantan Barat (6,6 th), Sulawesi selatan (7,4 th), Gorontalo (7,2 th) dan Papua (6,4 th).
Data ini menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia di Indonesia umumnya hanya berkesempatan mengenyam pendidikan tingkat SLTP (sekolah Lanjutan Pertama) untuk laki-laki dan perempuan hanya tamat Sekolah Dasar (SD).
Pada gilirannya, tingkat pendidikan yang rendah tersebut akan berdampak pada terbatasnya pilihan-pilihan untuk melakukan berbagai upaya pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak sipil dan politik. Upaya mewujudkan keterwakilan perempuan di lembaga pengambilan keputusan sekurang-kurangnya 30% dari jumlah seluruh pengambil keputusan, besar kemungkinan akan terus mengalami rintangan karena rendahnya tingkat pendidikan perempuan. Bahkan dalam realitanya, rendahnya tingkat pendidikan perempuan mengakibatkan yang bersangkutan menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia, terjebak dalam relasi kerja yang eksploitatif dan predatory.
Memang, tingkat pendidikan salah satu indikator yang mampu menjadi efek bagi faktor yang sosial lain, namun yang terpenting bukan hanya pada pendidikan formal saja, tetapi pendidikan moral dan agama ini sangat penting untuk ditingkatkan terlebih perempuan adalah madarasatul’ula,yang tak hanya mampu menjadi seorang “Kartini” namun dapat menjadi Aisyah yang menjadi rujukan para ulama besar sebagaimana pernyaataan Nabi Saw. “Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humairah (Aisyah)”, hingga akan lahir para wanita yang cerdas, berpendidikan, dan berakhlakul karimah.
Penulis : Najwa Raisa
- Eramuslim.com
COMMENTS