Kedudukan Hadits Shaum Syawal (2-3) . Jika belum membaca bagian 1 dari tulisan ini silakan merujuk pada link berikut Kedudukan Hadits Shaum...
Kedudukan Hadits Shaum Syawal (2-3). Jika belum membaca bagian 1 dari tulisan ini silakan merujuk pada link berikut Kedudukan Hadits Shaum Syawal (1-3).
Sikap Para ulama
Masalah ini kalau diteliti secara ilmiah dalam berbagai kitab yang telah disusun para ulama mutaqaddimin (terdahulu) bukanlah masalah baru, tetapi persoalannya pernah berkembang sejak lama sekali. Masalah ini telah dibahas oleh para ulama yang masyhur, seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’I, Ahmad, At-Tirmidzi, dan lain-lain.
Memang di kalangan ulama terdapat perbedaan dalam mensikapi kedudukan shaum syawal. Sebagian berpendapat bahwa saum enam hari di bulan Syawwal itu disyareatkan yang tentu saja hukumnya sunat. Sedangkan sebagian lagi menyatakan bahwa saum itu tidak disyariatkan dengan kata lain bid’ah. Terjadinya perbedaan sikap para ulama terhadap saum syawwal, tampaknya karena masing-masing pihak berbeda dalam menentukan kedudukan dalil-dalil yang berkenaan dengan saum itu, apakah sahih atau daif ?
Dalam tulisan ini, kami mencoba menganalisa kedudukan hadis saum Syawwal dengan mengemukakan alasan-alasan dari kedua belah pihak, kemudian mencari mana yang lebih rajih (kuat), dengan harapan menjadi bahan pertimbangan bagi jamaah dan bahan kajian asatidzah untuk menelitinya kembali.
Alasan Pendaifan Hadis Saum Syawwal
Ulama yang menyatakan bahwa saum Syawwal itu tidak disyariatkan berpendapat bahwa hadis-hadis yang berkaitan dengan saum itu tidak dapat dijadikan hujjah, karena hadis-hadisnya daif. Adapun alasannya sebagai berikut:
A. Aspek sanad
1. Hadis-hadis tentang saum Syawwal diterima dari Sahabat Abu Ayub, dan pada umumnya diriwayatkan melalui Saad bin Said, dari Umar bin Tsabit. Saad dinyatakan daif oleh para ulama, yaitu:
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata dari ayahnya (Imam Ahmad), “Dia dhaif” An-Nasai berkata, “Tidak kuat” Abdurrahman bin Abu Hatim berkata, “Aku mendengar Bapakku berkata, ‘Saad bin Said Al-Anshari muaddi, yakni ia tidak hafal dan menyampaikan apa yang didengarnya’.” Ibnu Hiban menempatkan (rawi) ini di dalam kitab At-Tsiqat, dan berkata, “Dia melakuan kesalahan.” (Lihat, Tahdzibul Kamal fii Asma` ar-Rijal, X:264)
Al-Hafizh (Ibnu Hajar) berkata dalam kitab At-Taqrib, “Saad bin Said bin Qais bin Amr Al-Anshari saudara Yahya, dia jujur, buruk hapalan” (Lihat, Tuhfatul Ahwadzi syarh Sunan At-Tirmidzi, III:468)
At-Tirmidzi berkata, “Sebagian ahli hadis membicarakan Saad bin Said dari segi hapalannya”. (Lihat, Tuhfatul Ahwadzi syarh Sunan At-Tirmidzi, III:467)
Imam Malik tidak mempergunakannya, dan mengingkari hadisnya. (Lihat, ‘Awnul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, VII:64)
2. Sanad Saad bin Said dari Umar bin Tsabit diragukan kemuttashilan (bersambung) nya, karena pada beberapa riwayat Saad menerima secara langsung dari Umar bin Tsabit, sedangkan pada riwayat Abu Dawud At-Thayalisi, Saad bin Said tidak menerima secara langsung dari Umar bin Tsabit, tetapi dari saudaranya yaitu Yahya bin Said. (Lihat, Awnul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, VII:64) Demikian pula pada riwayat At-Thabrani. (Lihat, Al-Mu’jam Al-Kabir, IV:162).
3. Hadis Abu Ayyub yang diriwayatkan melalui rawi selain Saad bin Said, yaitu Abdur Rabbih, kata An-Nasai, “Pada sanadnya terdapat rawi bernama Utbah, ia tidak kuat. (Lihat, ‘Awnul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, VII:62)
4. Hadis Abu Ayyub yang diriwayatkan oleh At-Thabrani (Al-Mu’jam Al-Kabir IV:161), Ibnu Hiban (Al-Ihsan bi Tartibi Shahihibni Hibban, VIII:396-397), Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, II:544), An-Nasai (As-Sunan Al-Kubra, II:163) semuanya melalui rawi yang bernama Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Darawardi. Dia itu sayyiul hifzhi (buruk Hapalan). (Siyar A’lam An-Nubala, VIII:367). Karena itu, di dalam Shahih-nya Imam Al-Bukhari menggunakan rawi Ad-Darawardi ini secara maqrunan (didampingi) oleh rawi lainnya yang tsiqat (kuat), seperti Abdul Aziz bin Abu Hazim (lihat, Shahih Al-Bukhari, IV:138, bab Qishshah Abi Thalib)
5. Hadis Abu Ayyub yang diriwayatkan oleh At-Thabrani (Al-Mu’jam Al-Kabir, IV:162), melalui Yahya bin Said, dari Umar bin Tsabit itu juga daif, karena pada sanadnya terdapat rawi yang bernama Abdullah bin Lahi’ah. Ibnu Main berkata, “Hadisnya tidak dapat dipakai hujjah.” Al-Hakim Abu Ahmad berkata, “Dzahibul Hadits (pemalsu hadis)”. Ibnu Hajar berkata, “Shaduq, rusak hapalannya setelah terbakar kitabnya” (lihat, Tahdzibul Kamal fii Asma` ar-Rijal, XV:487-503)
6. Kemuttashilan (bersambungnya) sanad Umar bin Tsabit dari Abu Ayyub diperbincangkan oleh para ulama, karena riwayat yang pokok dari Abu Ayyub itu melalui rawi bernama Muhammad bin Al-Munkadir bukan Umar bin Tsabit. Dengan demikian, sanad Saad bin Said, dari Umar bin Tsabit, yang tidak melalui rawi bernama Muhammad bin Al-Munkadir, tapi langsung menerima dari Abu Ayyub, tidak muttashil (terputus sanadnya). (Lihat, ‘Awnul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, VII:65)
Selain diterima oleh sahabat Abu Ayyub Al-Anshari, hadits saum Syawwal diterima juga oleh sahabat-sahabat lainnya, yaitu
Dilihat dari segi matan, hadis tentang saum Syawwal mengandung kejanggalan, yaitu hadis saum Syawwal diriwayatkan dengan beberapa redaksi, yang termasyhur di antaranya
“Keadaannya seperti shaum setahun.” Atau “Seakan-akan shaum setahun.”
Penggunaan kalimat di atas tidak menunjukkan kejelasan, apakah yang ditasybihkan (diserupakan) itu saumnya atau shaim-nya (orang yang saum). Di samping itu, penyerupaan sesuatu kepada sesuatu yang sejenis, yaitu “saum seperti saum” tidak sesuai dengan ketentuan bahasa.
C. Aspek amaliah ahli ilmu
Hadis saum Syawwal tidak diamalkan oleh ahli ilmu. Imam Malik berkata, “Saya tidak melihat seorang pun di antara ahli ilmu dan fiqih melaksanakan saum itu, dan tidak pernah sampai kepadaku khabar dari seorang pun ulama salaf, serta ahli ilmu memakruhkannya, dan mereka khawatir saum Syawwal itu bid’ah. (Lihat, ‘Awnul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, VII:67)
Demikianlah di antara alasan-alasan sebagian ulama yang menyatakan bid’ah terhadap saum enam hari pada bulan Syawal.
Bersambung ke Kedudukan Hadits Shaum Syawal (3-3).
Sikap Para ulama
Masalah ini kalau diteliti secara ilmiah dalam berbagai kitab yang telah disusun para ulama mutaqaddimin (terdahulu) bukanlah masalah baru, tetapi persoalannya pernah berkembang sejak lama sekali. Masalah ini telah dibahas oleh para ulama yang masyhur, seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’I, Ahmad, At-Tirmidzi, dan lain-lain.
Memang di kalangan ulama terdapat perbedaan dalam mensikapi kedudukan shaum syawal. Sebagian berpendapat bahwa saum enam hari di bulan Syawwal itu disyareatkan yang tentu saja hukumnya sunat. Sedangkan sebagian lagi menyatakan bahwa saum itu tidak disyariatkan dengan kata lain bid’ah. Terjadinya perbedaan sikap para ulama terhadap saum syawwal, tampaknya karena masing-masing pihak berbeda dalam menentukan kedudukan dalil-dalil yang berkenaan dengan saum itu, apakah sahih atau daif ?
Dalam tulisan ini, kami mencoba menganalisa kedudukan hadis saum Syawwal dengan mengemukakan alasan-alasan dari kedua belah pihak, kemudian mencari mana yang lebih rajih (kuat), dengan harapan menjadi bahan pertimbangan bagi jamaah dan bahan kajian asatidzah untuk menelitinya kembali.
Alasan Pendaifan Hadis Saum Syawwal
Ulama yang menyatakan bahwa saum Syawwal itu tidak disyariatkan berpendapat bahwa hadis-hadis yang berkaitan dengan saum itu tidak dapat dijadikan hujjah, karena hadis-hadisnya daif. Adapun alasannya sebagai berikut:
A. Aspek sanad
1. Hadis-hadis tentang saum Syawwal diterima dari Sahabat Abu Ayub, dan pada umumnya diriwayatkan melalui Saad bin Said, dari Umar bin Tsabit. Saad dinyatakan daif oleh para ulama, yaitu:
قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ عَنْ أَبِيْهِ ضَعِيْفٌ وَقَالَ النَّسَائِيُّ لَيْسَ بِالْقَوِيِّ وَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنُ أَبِيْ حَاتِمٍ سَمِعْتُ أَبِيْ يَقُوْلُ سَعْدُ بْنُ سَعِيْدٍ الأَنْصَارِيُّ مُؤَدِّيٌ يَعْنِي أَنَّهُ كَانَ لاَ يَحْفَظُ وَيُؤَدِّيْ مَا سَمِعَ وَذَكَرَهُ بْنُ حِبَّانَ فِي كِتَابِ الثِّقَاتِ وَقَالَ كَانَ يُخْطِىءُ
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata dari ayahnya (Imam Ahmad), “Dia dhaif” An-Nasai berkata, “Tidak kuat” Abdurrahman bin Abu Hatim berkata, “Aku mendengar Bapakku berkata, ‘Saad bin Said Al-Anshari muaddi, yakni ia tidak hafal dan menyampaikan apa yang didengarnya’.” Ibnu Hiban menempatkan (rawi) ini di dalam kitab At-Tsiqat, dan berkata, “Dia melakuan kesalahan.” (Lihat, Tahdzibul Kamal fii Asma` ar-Rijal, X:264)
قَالَ الْحَافِظُ فِي التَّقْرِيْبِ سَعْدُ بْنُ سَعِيْدِ بْنِ قَيْسِ بْنِ عَمْرٍو الأَنْصَارِيُّ أَخُوْ يَحْيَى صَدُوْقٌ سَيِّءُ الْحِفْظِ
Al-Hafizh (Ibnu Hajar) berkata dalam kitab At-Taqrib, “Saad bin Said bin Qais bin Amr Al-Anshari saudara Yahya, dia jujur, buruk hapalan” (Lihat, Tuhfatul Ahwadzi syarh Sunan At-Tirmidzi, III:468)
قَالَ التِّرْمِذِيُّ : قَدْ تَكَلَّمَ بَعْضُ أَهْلِ الْحَدِيْثِ فِي سَعْدِ بْنِ سَعِيْدٍ مِنْ قِبَلِ حِفْظِهِ
At-Tirmidzi berkata, “Sebagian ahli hadis membicarakan Saad bin Said dari segi hapalannya”. (Lihat, Tuhfatul Ahwadzi syarh Sunan At-Tirmidzi, III:467)
Imam Malik tidak mempergunakannya, dan mengingkari hadisnya. (Lihat, ‘Awnul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, VII:64)
2. Sanad Saad bin Said dari Umar bin Tsabit diragukan kemuttashilan (bersambung) nya, karena pada beberapa riwayat Saad menerima secara langsung dari Umar bin Tsabit, sedangkan pada riwayat Abu Dawud At-Thayalisi, Saad bin Said tidak menerima secara langsung dari Umar bin Tsabit, tetapi dari saudaranya yaitu Yahya bin Said. (Lihat, Awnul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, VII:64) Demikian pula pada riwayat At-Thabrani. (Lihat, Al-Mu’jam Al-Kabir, IV:162).
3. Hadis Abu Ayyub yang diriwayatkan melalui rawi selain Saad bin Said, yaitu Abdur Rabbih, kata An-Nasai, “Pada sanadnya terdapat rawi bernama Utbah, ia tidak kuat. (Lihat, ‘Awnul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, VII:62)
4. Hadis Abu Ayyub yang diriwayatkan oleh At-Thabrani (Al-Mu’jam Al-Kabir IV:161), Ibnu Hiban (Al-Ihsan bi Tartibi Shahihibni Hibban, VIII:396-397), Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, II:544), An-Nasai (As-Sunan Al-Kubra, II:163) semuanya melalui rawi yang bernama Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Darawardi. Dia itu sayyiul hifzhi (buruk Hapalan). (Siyar A’lam An-Nubala, VIII:367). Karena itu, di dalam Shahih-nya Imam Al-Bukhari menggunakan rawi Ad-Darawardi ini secara maqrunan (didampingi) oleh rawi lainnya yang tsiqat (kuat), seperti Abdul Aziz bin Abu Hazim (lihat, Shahih Al-Bukhari, IV:138, bab Qishshah Abi Thalib)
5. Hadis Abu Ayyub yang diriwayatkan oleh At-Thabrani (Al-Mu’jam Al-Kabir, IV:162), melalui Yahya bin Said, dari Umar bin Tsabit itu juga daif, karena pada sanadnya terdapat rawi yang bernama Abdullah bin Lahi’ah. Ibnu Main berkata, “Hadisnya tidak dapat dipakai hujjah.” Al-Hakim Abu Ahmad berkata, “Dzahibul Hadits (pemalsu hadis)”. Ibnu Hajar berkata, “Shaduq, rusak hapalannya setelah terbakar kitabnya” (lihat, Tahdzibul Kamal fii Asma` ar-Rijal, XV:487-503)
6. Kemuttashilan (bersambungnya) sanad Umar bin Tsabit dari Abu Ayyub diperbincangkan oleh para ulama, karena riwayat yang pokok dari Abu Ayyub itu melalui rawi bernama Muhammad bin Al-Munkadir bukan Umar bin Tsabit. Dengan demikian, sanad Saad bin Said, dari Umar bin Tsabit, yang tidak melalui rawi bernama Muhammad bin Al-Munkadir, tapi langsung menerima dari Abu Ayyub, tidak muttashil (terputus sanadnya). (Lihat, ‘Awnul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, VII:65)
Selain diterima oleh sahabat Abu Ayyub Al-Anshari, hadits saum Syawwal diterima juga oleh sahabat-sahabat lainnya, yaitu
- Jabir bin Abdullah riwayat Ahmad, Al-Bazzar, dan At-Thabrani dalam kitab Al-Mu’jamul Ausath, dan pada sanadnya terdapat rawi bernama Amr bin Jabir, dia itu daif.
- Abu Hurairah riwayat At-Thabrani dalam kitab Al-Mu’jamul Ausath, dan pada sanadnya terdapat rawi yang tidak dikenal
- Jabir dan Ibnu Abas riwayat At-Thabrani dalam kitab Al-Mu’jamul Ausath, dan pada sanadnya terdapat rawi bernama Yahya bin Said Al-Mazini, dia itu matruk (dianggap berdusta).
- Ibnu Umar riwayat At-Thabrani dalam kitab Al-Mu’jam Al-Awsath, dan pada sanadnya terdapat rawi bernama Maslamah bin Ali, dia itu daif.
- Ghanam riwayat riwayat At-Thabrani dalam kitab Al-Mu’jam Al-Kabir, dan pada sanadnya terdapat rawi bernama Abdurrahman bin Ghanam, dia tidak dikenal. (Lihat, Majma’ Az-Zawa`id wa Manba’ul Fawa`id, III:186-187)
Dilihat dari segi matan, hadis tentang saum Syawwal mengandung kejanggalan, yaitu hadis saum Syawwal diriwayatkan dengan beberapa redaksi, yang termasyhur di antaranya
كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ, فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ
“Keadaannya seperti shaum setahun.” Atau “Seakan-akan shaum setahun.”
Penggunaan kalimat di atas tidak menunjukkan kejelasan, apakah yang ditasybihkan (diserupakan) itu saumnya atau shaim-nya (orang yang saum). Di samping itu, penyerupaan sesuatu kepada sesuatu yang sejenis, yaitu “saum seperti saum” tidak sesuai dengan ketentuan bahasa.
C. Aspek amaliah ahli ilmu
Hadis saum Syawwal tidak diamalkan oleh ahli ilmu. Imam Malik berkata, “Saya tidak melihat seorang pun di antara ahli ilmu dan fiqih melaksanakan saum itu, dan tidak pernah sampai kepadaku khabar dari seorang pun ulama salaf, serta ahli ilmu memakruhkannya, dan mereka khawatir saum Syawwal itu bid’ah. (Lihat, ‘Awnul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, VII:67)
Demikianlah di antara alasan-alasan sebagian ulama yang menyatakan bid’ah terhadap saum enam hari pada bulan Syawal.
Bersambung ke Kedudukan Hadits Shaum Syawal (3-3).
Amin Saefullah Muchtar
Bandung, 21 Januari 1973
Menikah (1 istri dan 4 anak) kini tinggal di Jl. Maleer V, No. 220/118, Bandung.Aktivitas sebagai konsultan Hadis & Manajemen Syariah, Penulis dan Editor Buku. FB: Amien Saefullah Muchtar
COMMENTS