Nilai Hakikat dan Keutamaan Puasa . Shaum, sebagaimana ibadah-ibadah lainnya (seperti shalat, zakat, atau haji), mempunyai tujuan mulia. Ar...
Nilai Hakikat dan Keutamaan Puasa. Shaum, sebagaimana ibadah-ibadah lainnya (seperti shalat, zakat, atau haji), mempunyai tujuan mulia. Artinya, ibadah itu disyariatkan oleh Allah Swt. bukan semata-mata dalam rangka agar pelakunya mendapatkan pahala. Jelas sekali disebutkan dalam ayat ke-183 surat Al-Baqarah di atas bahwa tujuan diwajibkannya shaum Ramadhan adalah agar pelakunya mencapai derajat takwa dan dengan ketakwaan itulah manusia menjadi mulia.
Pertanyaannya, bagaimanakah ibadah shaum Ramadhan ini dapat mengangkat derajat kita sehingga dapat menjadi muslim prestatif di hadapan Allah dan di hadapan seluruh penghuni alam semesta? Inilah nilai-nilai atau hakikat yang terkandung dalam ibadah shaum.
Pertama, shaum terkait erat dengan keimanan sejati karena ia adalah ibadah rahasia. Kita tidak akan bisa membedakan mana orang yang benar-benar shaum dengan orang yang hanya berpura-pura melaksanakan shaum. Ya, seseorang bisa saja makan dan minum di tempat yang tidak diketahui orang lain dan di depan kita ia mengaku sedang shaum. Pun seseorang yang benar-benar mengerjakan shaum bisa saja terlihat beraktivitas sebagaimana biasanya seperti manakala ia tidak mengerjakan shaum.
Jadi shaum adalah ibadah hati yang sangat rahasia antar seorang hamba dengan Tuhannya. Ketika seseorang menahan makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkan shaum padahal ia bisa dan mampu makan dan minum, hal itu merupakan bukti atas kesadaran dan keyakinan akan adanya pengawasan Allah Swt. Ini berbeda dengan ibadah lain yang dikerjakan dengan melakukan sesuatu. Ibadah shaum justru dikerjakan dengan menahan diri dari melakukan sesuatu.
Kedua, shaum mendidik seorang hamba untuk berorientasi masa depan. Seorang yang shaum akan dengan sukarela meninggalkan hal-hal yang halal demi mencapai dua kebahagian di masa yang akan datang, yakni masa berbuka dan masa berjumpa dengan Allah Swt. Jadi, orang yang melakukan shaum adalah mereka yang rela berkorban serta menderita sesaat untuk menggapai kebahagiaan yang akan datang. Hal tersebut adalah salah satu indikasi kuatnya keimanan pada hari akhirat, hari kehidupan yang hakiki.
Ketiga, shaum adalah pewujudan ketundukan mutlak kepada Sang Pencipta. Seorang yang melakukan shaum baru makan dan minum pada saat datang waktu magrib dan menahan diri dari segala hal yang membatalkan (shaum) manakala datang fajar. Ini saja sudah merupakan ketundukan kepada Allah. Selain itu, seseorang yang shaum dari terbit fajar sampai magrib (kira-kira 13 jam), tidak akan pernah menawar agar shaum dilakukan dari jam sepuluh pagi (misalnya), yang penting lamanya sama yaitu 13 jam. Demikian pula halnya dengan anjuran makan sahur yang tidak akan dibantah meski keadaan tubuh saat itu yang tidak ingin makan. Semua kita lakukan karena tunduk dan patuh sepenuhnya kepada titah Allah Swt.
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan shaum bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah shaum itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 187)
Keempat, shaum merupakan sarana pendidikan masyarakat. Terasa berat bagi seseorang saat shaum dilakukan seorang diri. Ini dapat kita rasakan saat kita melakukan shaum sunat. Hal tersebut akan berbeda manakala semua orang yang ada di lingkungan sekitar melaksanakan shaum. Setiap orang di lingkungan tersebut menjadi bersemangat melakukan shaum dan nyaris tidak ada keluhan. Ternyata, ibadah yang dilakukan secara bersama-sama (dengan seluruh atau sebagaian besar masyarakat) menghasilkan sebuah kenikmatan tersendiri. Dari suasana kebersamaan tersebut, muncul rasa persatuan, keterpaduan, serta kebersamaan dalam ketaatan kepada Allah Swt.
Itulah hikmah-hikmah yang dapat kita petik. Tentu saja, hanya Allah yang mengetahui esensi atau hakikat shaum itu sendiri. Namun demikian, dari hikmah-hikmah tersebut di atas saja, kita sudah dapat memahami dan tentu mengimanai bagaimana ibadah shaum Ramadhan menghadirkan ketakwaan.
KEUTAMAAN SHAUM
Teramat banyak fadhilah (keutamaan) shaum sepanjang yang dijelaskan dalam Al-Quran maupun sunah Rasulullah Saw. Keutamaan-keutamaan tersebut sebagian telah disebutkan dalam hadits yang menjadi pembuka artikel ini. Lebih jelas, berikut akan diuraikan fadhilah-fadhilah tersebut.
1. “Seluruh amal anak Adam adalah untuknya kecuali shaum. Sesungguhnya shaum itu untuk-Ku...”
Muncul pertanyaan, “Bukankah seluruh amal adalah untuk Allah dan bukankah Allah yang membalas semua amal?” Para ulama telah banyak mendiskusikan makna kalimat hadits tersebut. Berikut beberapa penafsiran yang dihimpun oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalany dalam kitabnya, Fathul-Bari.
Abu ‘Ubaid berkata, “Kita tahu bahwa seluruh al-birr (kebajikan) adalah untuk Allah dan Dialah yang membalasnya. Maka kami berpendapat, shaum mendapat kekhususan karena ia tidak tampak pada manusia dengan melakukannya. Shaum tidak lain adalah sesuatu yang ada dalam hati orang itu.” Artinya, ketika seseorang yang shaum duduk berdampingan dengan orang yang tidak shaum (baik karena dia makan dan minum di siang hari ataupun tidak makan maupun minum namun serta tidak berniat shaum), tidak ada yang membedakan antara keduanya. Yang tidak shaum tersebut bisa tampil lemas dan yang shaum bisa tampil segar sehingga hampir tidak dapat dibedakan. Lalu apa yang membedakan? Tidak lain adalah hatinya. Hati yang bersangkutanlah yang tahu bahwa dirinya shaum atau tidak. Dan hanyalah Allah-lah Yang Mengetahui hal itu.
Al-Qurthubi berpendapat, “Seluruh amal dapat disusupi riya sedangkan shaum tidak ada yang mengetahuinya (bila ia dengan niat selain Allah Swt.), maka Dia menisbatkan shaum pada Dirinya. Oleh karena itu, disebutkan dalam sebuah hadits, ‘Dia meninggallkan syahwatnya karena-Ku.’”
Ibnul-Jauzi berpendapat, “Seluruh ibadah akan tampak dengan melakukannya dan amat sedikit yang selamat dari debu (riya), berbeda halnya dengan shaum.”
Ibnu Jahar Al-‘Asqalani setelah memaparkan beberapa pendapat ulama tentang kalimat itu, kemudian mengulas dan mengatakan bahwa, “Seluruh amal anak Adam, ketika berpeluang disusupi riya maka dinisbatkan pada diri mereka. Berbeda halnya dengan shaum, orang yang menahan diri (dari makan-minum) karena kenyang sama belaka dengan orang yang menahan diri dalam rangka taqarub (mendekatkan diri) kepada Allah dalam hal tampilan lahiriyah.”
Ia juga menambahkan bahwa yang dimaksud dengan penafsiran riya dari shaum adalah, “Shaum tidak dapat disusupi riya dengan semata-mata mengamalkannya. Tapi ia bisa disusupi riya dengan pemberitaan (publikasi), misalnya dengan publikasi bahwa dirinya shaum. Dengan cara-cara semacam itulah riya dapat masuk ke dalam shaum. Jadi, masuknya riya ke dalam shaum hanya datang dari sisi (cara) publikasi. Sedangkan ibadah-ibadah selain shaum bisa disusupi riya dengan semata-mata melaksanakannya.”
2. “Dan Akulah yang membalasnya.”
Menjelaskan kalimat itu, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengatakan, “Aku (Allah) sendiri yang mengetahui ukuran (kadar) pahalanya dan pelipatgandaan kebaikannya. Ada pun ibadah lain, sebagian manusia dapat mengatahuinya.” Ia kemudian memaparkan hasil kajian para ulama lainnya, semisal Mufassir Al-Qurthubi yang berkata, “Maknanya, bahwa amal-amal telah dibuka (dipaparkan) ukuran pahalanya kepada manusia dan bahwa pahalanya itu dilipatgandakan dari sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat hingga (sebanyak) yang Allah kehendaki, kecuali shaum. Sesungguhnya Allah memberi pahala shaum tanpa ukuran.”
Pemahaman itu didukung oleh riwayat lain dalam Kitab Al-Muwaththa, sabda Rasulullah Saw.:
“Setiap amal anak Adam dilipatgandakan kebaikannya menjadi sepuluh kali lipat, sampai tujuh ratus kali lipat, sampai sebanyak yang Allah kehendaki.Allah berfirman, ‘Kecuali shaum, sesungguhnya shaum itu untukku dan akulah yang membalasnya.’” (H.R. Muttafaq ‘alaih)
Ini sejalan dengan makna ayat berikut:
“....Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Q.S. Az-Zumar [39]:10)
Di antara penafsiran kata ash-shabiruun (orang-orang sabar) dalam ayat itu adalah ash-shaimun yakni orang-orang yang shaum.
3. “Shaum adalah tameng”
Di dunia, shaum adalah tameng dari syahwat. Rasulullah Saw. bersabda,
“Wahai segenap pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu (untuk menikah) maka menikahlah. Karena menikah itu lebih mampu menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan batang siapa yang belum mampu hendaklah ia shaum karena shaum itu merupakan tameng.” (H.R. Muslim)
Dan di akhirat shaum adalah tameng dari api neraka. Rasulullah Saw. bersabda,
“Barangsiapa shaum satu hari saja di jalan Allah maka Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka sejauh (perjalanan) satu tahun.” (H.R. Muslim)
4. “Demi Dzat yang diriku ada di tangan-Nya, bau mulut orang yang shaum lebih baik di sisi Allah dari pada wangi minyak kesturi.”
Ini menegaskan keutamaan shaum dan orang yang melakukannya. Ketika seseorang melakukan shaum dan secara alamiah mengakibatkan kekosongan lambung yang menimbulkan bau yang tidak sedap (yang rata-rata manusia tidak munyukainya), Allah justru menyukainya. Namun jangan pula hal ini dipahami sebagai anjuran kejorokan dan tidak memelihara kebersihan sebab yang diperintahkan itu shaumnya bukan baunya.
5. “Orang yang shaum mendapat dua kebahagiaan.
Jika ia berbuka, ia bahagia dengan bukanya. Dan jika ia berjumpa dengan Tuhannya ia berbahagia dengan shaumnya.” Ini adalah kebahagiaan yang tidak mungkin dirasakan oleh orang yang melaksanakan shaum, meskipun ia berpura-pura lapar dan menampakkan badan yang lemas. Jika di dunia tidak mendapat kebahagiaan, apatah lagi di akhirat kelak.
6. Orang yang melaksanakan shaum akan masuk surga dari pintu khusus yang disebut Rayyan.
Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya di surga ada satu pintu yang bernama Rayyan, melalui pintu itulah orang yang shaum masuk. Dan tidak ada yang masuk melalui pintu itu selain mereka. Lalu dipanggil, ‘Siapakah yang shaum?’ maka mereka berdiri dan tidak ada yang memasukinya selain mereka. Ketika mereka sudah masuk maka dikuncilah pintu itu.” (H.R. Al-Bukhari)
Dan masih banyak lagi karunia dan keutamaan yang Allah berikan kepada orang yang shaum pada bulan Ramadhan. Jadi, jangan sia-siakan fasilitas ini karena Ramadhan itu memang indah. Wallahu a’lam.
Sumber: persikaniman.org
Pertanyaannya, bagaimanakah ibadah shaum Ramadhan ini dapat mengangkat derajat kita sehingga dapat menjadi muslim prestatif di hadapan Allah dan di hadapan seluruh penghuni alam semesta? Inilah nilai-nilai atau hakikat yang terkandung dalam ibadah shaum.
Pertama, shaum terkait erat dengan keimanan sejati karena ia adalah ibadah rahasia. Kita tidak akan bisa membedakan mana orang yang benar-benar shaum dengan orang yang hanya berpura-pura melaksanakan shaum. Ya, seseorang bisa saja makan dan minum di tempat yang tidak diketahui orang lain dan di depan kita ia mengaku sedang shaum. Pun seseorang yang benar-benar mengerjakan shaum bisa saja terlihat beraktivitas sebagaimana biasanya seperti manakala ia tidak mengerjakan shaum.
Jadi shaum adalah ibadah hati yang sangat rahasia antar seorang hamba dengan Tuhannya. Ketika seseorang menahan makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkan shaum padahal ia bisa dan mampu makan dan minum, hal itu merupakan bukti atas kesadaran dan keyakinan akan adanya pengawasan Allah Swt. Ini berbeda dengan ibadah lain yang dikerjakan dengan melakukan sesuatu. Ibadah shaum justru dikerjakan dengan menahan diri dari melakukan sesuatu.
Kedua, shaum mendidik seorang hamba untuk berorientasi masa depan. Seorang yang shaum akan dengan sukarela meninggalkan hal-hal yang halal demi mencapai dua kebahagian di masa yang akan datang, yakni masa berbuka dan masa berjumpa dengan Allah Swt. Jadi, orang yang melakukan shaum adalah mereka yang rela berkorban serta menderita sesaat untuk menggapai kebahagiaan yang akan datang. Hal tersebut adalah salah satu indikasi kuatnya keimanan pada hari akhirat, hari kehidupan yang hakiki.
Ketiga, shaum adalah pewujudan ketundukan mutlak kepada Sang Pencipta. Seorang yang melakukan shaum baru makan dan minum pada saat datang waktu magrib dan menahan diri dari segala hal yang membatalkan (shaum) manakala datang fajar. Ini saja sudah merupakan ketundukan kepada Allah. Selain itu, seseorang yang shaum dari terbit fajar sampai magrib (kira-kira 13 jam), tidak akan pernah menawar agar shaum dilakukan dari jam sepuluh pagi (misalnya), yang penting lamanya sama yaitu 13 jam. Demikian pula halnya dengan anjuran makan sahur yang tidak akan dibantah meski keadaan tubuh saat itu yang tidak ingin makan. Semua kita lakukan karena tunduk dan patuh sepenuhnya kepada titah Allah Swt.
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan shaum bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah shaum itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 187)
Keempat, shaum merupakan sarana pendidikan masyarakat. Terasa berat bagi seseorang saat shaum dilakukan seorang diri. Ini dapat kita rasakan saat kita melakukan shaum sunat. Hal tersebut akan berbeda manakala semua orang yang ada di lingkungan sekitar melaksanakan shaum. Setiap orang di lingkungan tersebut menjadi bersemangat melakukan shaum dan nyaris tidak ada keluhan. Ternyata, ibadah yang dilakukan secara bersama-sama (dengan seluruh atau sebagaian besar masyarakat) menghasilkan sebuah kenikmatan tersendiri. Dari suasana kebersamaan tersebut, muncul rasa persatuan, keterpaduan, serta kebersamaan dalam ketaatan kepada Allah Swt.
Itulah hikmah-hikmah yang dapat kita petik. Tentu saja, hanya Allah yang mengetahui esensi atau hakikat shaum itu sendiri. Namun demikian, dari hikmah-hikmah tersebut di atas saja, kita sudah dapat memahami dan tentu mengimanai bagaimana ibadah shaum Ramadhan menghadirkan ketakwaan.
KEUTAMAAN SHAUM
Teramat banyak fadhilah (keutamaan) shaum sepanjang yang dijelaskan dalam Al-Quran maupun sunah Rasulullah Saw. Keutamaan-keutamaan tersebut sebagian telah disebutkan dalam hadits yang menjadi pembuka artikel ini. Lebih jelas, berikut akan diuraikan fadhilah-fadhilah tersebut.
1. “Seluruh amal anak Adam adalah untuknya kecuali shaum. Sesungguhnya shaum itu untuk-Ku...”
Muncul pertanyaan, “Bukankah seluruh amal adalah untuk Allah dan bukankah Allah yang membalas semua amal?” Para ulama telah banyak mendiskusikan makna kalimat hadits tersebut. Berikut beberapa penafsiran yang dihimpun oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalany dalam kitabnya, Fathul-Bari.
Abu ‘Ubaid berkata, “Kita tahu bahwa seluruh al-birr (kebajikan) adalah untuk Allah dan Dialah yang membalasnya. Maka kami berpendapat, shaum mendapat kekhususan karena ia tidak tampak pada manusia dengan melakukannya. Shaum tidak lain adalah sesuatu yang ada dalam hati orang itu.” Artinya, ketika seseorang yang shaum duduk berdampingan dengan orang yang tidak shaum (baik karena dia makan dan minum di siang hari ataupun tidak makan maupun minum namun serta tidak berniat shaum), tidak ada yang membedakan antara keduanya. Yang tidak shaum tersebut bisa tampil lemas dan yang shaum bisa tampil segar sehingga hampir tidak dapat dibedakan. Lalu apa yang membedakan? Tidak lain adalah hatinya. Hati yang bersangkutanlah yang tahu bahwa dirinya shaum atau tidak. Dan hanyalah Allah-lah Yang Mengetahui hal itu.
Al-Qurthubi berpendapat, “Seluruh amal dapat disusupi riya sedangkan shaum tidak ada yang mengetahuinya (bila ia dengan niat selain Allah Swt.), maka Dia menisbatkan shaum pada Dirinya. Oleh karena itu, disebutkan dalam sebuah hadits, ‘Dia meninggallkan syahwatnya karena-Ku.’”
Ibnul-Jauzi berpendapat, “Seluruh ibadah akan tampak dengan melakukannya dan amat sedikit yang selamat dari debu (riya), berbeda halnya dengan shaum.”
Ibnu Jahar Al-‘Asqalani setelah memaparkan beberapa pendapat ulama tentang kalimat itu, kemudian mengulas dan mengatakan bahwa, “Seluruh amal anak Adam, ketika berpeluang disusupi riya maka dinisbatkan pada diri mereka. Berbeda halnya dengan shaum, orang yang menahan diri (dari makan-minum) karena kenyang sama belaka dengan orang yang menahan diri dalam rangka taqarub (mendekatkan diri) kepada Allah dalam hal tampilan lahiriyah.”
Ia juga menambahkan bahwa yang dimaksud dengan penafsiran riya dari shaum adalah, “Shaum tidak dapat disusupi riya dengan semata-mata mengamalkannya. Tapi ia bisa disusupi riya dengan pemberitaan (publikasi), misalnya dengan publikasi bahwa dirinya shaum. Dengan cara-cara semacam itulah riya dapat masuk ke dalam shaum. Jadi, masuknya riya ke dalam shaum hanya datang dari sisi (cara) publikasi. Sedangkan ibadah-ibadah selain shaum bisa disusupi riya dengan semata-mata melaksanakannya.”
2. “Dan Akulah yang membalasnya.”
Menjelaskan kalimat itu, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengatakan, “Aku (Allah) sendiri yang mengetahui ukuran (kadar) pahalanya dan pelipatgandaan kebaikannya. Ada pun ibadah lain, sebagian manusia dapat mengatahuinya.” Ia kemudian memaparkan hasil kajian para ulama lainnya, semisal Mufassir Al-Qurthubi yang berkata, “Maknanya, bahwa amal-amal telah dibuka (dipaparkan) ukuran pahalanya kepada manusia dan bahwa pahalanya itu dilipatgandakan dari sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat hingga (sebanyak) yang Allah kehendaki, kecuali shaum. Sesungguhnya Allah memberi pahala shaum tanpa ukuran.”
Pemahaman itu didukung oleh riwayat lain dalam Kitab Al-Muwaththa, sabda Rasulullah Saw.:
“Setiap amal anak Adam dilipatgandakan kebaikannya menjadi sepuluh kali lipat, sampai tujuh ratus kali lipat, sampai sebanyak yang Allah kehendaki.Allah berfirman, ‘Kecuali shaum, sesungguhnya shaum itu untukku dan akulah yang membalasnya.’” (H.R. Muttafaq ‘alaih)
Ini sejalan dengan makna ayat berikut:
“....Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Q.S. Az-Zumar [39]:10)
Di antara penafsiran kata ash-shabiruun (orang-orang sabar) dalam ayat itu adalah ash-shaimun yakni orang-orang yang shaum.
3. “Shaum adalah tameng”
Di dunia, shaum adalah tameng dari syahwat. Rasulullah Saw. bersabda,
“Wahai segenap pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu (untuk menikah) maka menikahlah. Karena menikah itu lebih mampu menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan batang siapa yang belum mampu hendaklah ia shaum karena shaum itu merupakan tameng.” (H.R. Muslim)
Dan di akhirat shaum adalah tameng dari api neraka. Rasulullah Saw. bersabda,
“Barangsiapa shaum satu hari saja di jalan Allah maka Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka sejauh (perjalanan) satu tahun.” (H.R. Muslim)
4. “Demi Dzat yang diriku ada di tangan-Nya, bau mulut orang yang shaum lebih baik di sisi Allah dari pada wangi minyak kesturi.”
Ini menegaskan keutamaan shaum dan orang yang melakukannya. Ketika seseorang melakukan shaum dan secara alamiah mengakibatkan kekosongan lambung yang menimbulkan bau yang tidak sedap (yang rata-rata manusia tidak munyukainya), Allah justru menyukainya. Namun jangan pula hal ini dipahami sebagai anjuran kejorokan dan tidak memelihara kebersihan sebab yang diperintahkan itu shaumnya bukan baunya.
5. “Orang yang shaum mendapat dua kebahagiaan.
Jika ia berbuka, ia bahagia dengan bukanya. Dan jika ia berjumpa dengan Tuhannya ia berbahagia dengan shaumnya.” Ini adalah kebahagiaan yang tidak mungkin dirasakan oleh orang yang melaksanakan shaum, meskipun ia berpura-pura lapar dan menampakkan badan yang lemas. Jika di dunia tidak mendapat kebahagiaan, apatah lagi di akhirat kelak.
6. Orang yang melaksanakan shaum akan masuk surga dari pintu khusus yang disebut Rayyan.
Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya di surga ada satu pintu yang bernama Rayyan, melalui pintu itulah orang yang shaum masuk. Dan tidak ada yang masuk melalui pintu itu selain mereka. Lalu dipanggil, ‘Siapakah yang shaum?’ maka mereka berdiri dan tidak ada yang memasukinya selain mereka. Ketika mereka sudah masuk maka dikuncilah pintu itu.” (H.R. Al-Bukhari)
Dan masih banyak lagi karunia dan keutamaan yang Allah berikan kepada orang yang shaum pada bulan Ramadhan. Jadi, jangan sia-siakan fasilitas ini karena Ramadhan itu memang indah. Wallahu a’lam.
Sumber: persikaniman.org
COMMENTS