Setiap kali selesai shalat berjamaah dengan istri, saya sering mencium kening istri saya guna menandakan rasa syukur pada Allah. Apakah hal ...
Setiap kali selesai shalat berjamaah dengan istri, saya sering mencium kening istri saya guna menandakan rasa syukur pada Allah. Apakah hal ini dibolehkan dalam islam ? Apakah ini tidak termasuk bid'ah?
[Jojo Saripin. Cilengkrang-Bandung]
Yang Dinamakan bid'ah ialah :
طَريْقَةٌ فِى الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ تُضَاهِى الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُُُوكِِ عَلَيْهَا مَايُقْصَدُ بِالطََّرِيْقَةِ الشَّرْعَيَّةِِِش. – الإعتصام
"Satu cara diadakan (orang) dalam agama yang menyerupai syara, yang dimaksud mengerjakannya, seperti yang dimaksudkan oleh cara syareat ".(Al-I'tishom)
Mencium kening istri tidak termasuk cara ibadah, tetapi masuk urusan adat dan kebiasaan, dan kalau dilaksanakan sekali-kali seusai shalat berjamaah dengan istri, boleh-boleh saja. Tetapi kalau dilaksanakan pada setiap selesai shalat seperti yang Anda jelaskan dalam pertanyaan, ini lama-kelamaan akan menjurus kepada suatu bentuk "ibadah" yang tidak ada dalilnya, dengan kata lain, akan menjurus kepada bid'ah, oleh karena itu sebaiknya mencium kening istri untuk menandakan rasa syukur, dilakukan pada tempat dan waktu yang lain.
Yang pernah dilakukan Nabi Saw. bukan setelah shalat, melainkan sebelum shalat. Hal itu pun tidak menjadi syari'at harus begitu. Beliau hanya menunjukan bahwa bersentuhan kulit dengan perempuan tidak membatalkan wudlu, dan dalam rangka perwujudan "mu'asyarah bi ma'ruf" dan tidak ada kaitannya dengan rasa syukur.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ. رواه احمدو ابوداود
"Dari 'Aisyah r.a. bahwa Nabi Saw. telah, mencium sebagian istrinya kemudian beliau pergi shalat dan tidak berwudlu lagi." (HR. Ahmad dan Abu Dawud 1: 46).
Selain dari itu kami anjurkan supaya shalat berjamaah itu kalau mungkin sebaiknya diamalkan di masjid bersama-sama dengan umum, karena itulah tempat berjamaah kaum pria.
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ ص. قاَلَ صَلاَةُ الرَّجُلِ فِى جَمَاعَةٍ عَلَى صَلاَتِهِ فِى بَيْتِهِ وَصَلاَتِهِ فِى سُوقَةٍ بِضْعًاوَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً. متفق عليه النيل 3: 134
"Dari Abi Hurairah bahwasanya Rasululullah Saw., bersanda : Shalat seorang pria dengan berjamaah melebihi shalatnya di rumahnya dan pasarnya dua puluh derajat lebih." (Muttafaq 'alaih).
Dalam riwayat lain dua puluh lima derajat, ada juga dua puluh tujuh derajat. (Nailul Authar).
[Jojo Saripin. Cilengkrang-Bandung]
Yang Dinamakan bid'ah ialah :
طَريْقَةٌ فِى الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ تُضَاهِى الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُُُوكِِ عَلَيْهَا مَايُقْصَدُ بِالطََّرِيْقَةِ الشَّرْعَيَّةِِِش. – الإعتصام
"Satu cara diadakan (orang) dalam agama yang menyerupai syara, yang dimaksud mengerjakannya, seperti yang dimaksudkan oleh cara syareat ".(Al-I'tishom)
Mencium kening istri tidak termasuk cara ibadah, tetapi masuk urusan adat dan kebiasaan, dan kalau dilaksanakan sekali-kali seusai shalat berjamaah dengan istri, boleh-boleh saja. Tetapi kalau dilaksanakan pada setiap selesai shalat seperti yang Anda jelaskan dalam pertanyaan, ini lama-kelamaan akan menjurus kepada suatu bentuk "ibadah" yang tidak ada dalilnya, dengan kata lain, akan menjurus kepada bid'ah, oleh karena itu sebaiknya mencium kening istri untuk menandakan rasa syukur, dilakukan pada tempat dan waktu yang lain.
Yang pernah dilakukan Nabi Saw. bukan setelah shalat, melainkan sebelum shalat. Hal itu pun tidak menjadi syari'at harus begitu. Beliau hanya menunjukan bahwa bersentuhan kulit dengan perempuan tidak membatalkan wudlu, dan dalam rangka perwujudan "mu'asyarah bi ma'ruf" dan tidak ada kaitannya dengan rasa syukur.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ. رواه احمدو ابوداود
"Dari 'Aisyah r.a. bahwa Nabi Saw. telah, mencium sebagian istrinya kemudian beliau pergi shalat dan tidak berwudlu lagi." (HR. Ahmad dan Abu Dawud 1: 46).
Selain dari itu kami anjurkan supaya shalat berjamaah itu kalau mungkin sebaiknya diamalkan di masjid bersama-sama dengan umum, karena itulah tempat berjamaah kaum pria.
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ ص. قاَلَ صَلاَةُ الرَّجُلِ فِى جَمَاعَةٍ عَلَى صَلاَتِهِ فِى بَيْتِهِ وَصَلاَتِهِ فِى سُوقَةٍ بِضْعًاوَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً. متفق عليه النيل 3: 134
"Dari Abi Hurairah bahwasanya Rasululullah Saw., bersanda : Shalat seorang pria dengan berjamaah melebihi shalatnya di rumahnya dan pasarnya dua puluh derajat lebih." (Muttafaq 'alaih).
Dalam riwayat lain dua puluh lima derajat, ada juga dua puluh tujuh derajat. (Nailul Authar).