Apa yang harus kita lakukan dalam menyikapi perbedaan penetapan hari pertama Ramadhan ataupun Idul Fitri yang hampir setiap tahun selalu ...
Siapa orang yang tidak mendambakan kesamaan dan kekompakan dalam menjalankan ibadah shaum, khususnya dalam memulai shaum tersebut. Akan tetapi, telah sama-sama kita sadari bahwa ternyata dalam penentuan awal Ramadhan sampai saat ini masih terjadi perbedaan. Semestinya, kita mafhum jika perbedaan merupakan sunnatullah.
Keberadaannya tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan kita. Oleh karenanya, jangan sampai perbedaan membawa bencana. Akan tetapi, jadikanlah semua itu aksesori yang menghiasi kehidupan bersama dalam bingkai ukhuwah islamiah (persaudaraan dalam Islam). Tinggal bagaimana kita mewujudkannya dalam kedewasaan berpikir dan bertindak.
Saya mengajak kepada sebagian pihak yang masih memaksakan kehendaknya agar memahami bahwa semua itu hanya akan menghasilkan persatuan semu yang mungkin malah bisa menyebabkan pecahnya persaudaraan. Allah mengingatkan di dalam Al-Quran,
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya; sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Q.S. Al-Israa [17]: 36)
Dalam menghadapi perbedaan pendapat, langkah pertama yang harus ditempuh berdasarkan ayat tersebut adalah memperkaya diri dengan pengetahuan (khususnya, seputar penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal) sesuai kemampuan. Setelah itu, kita tanamkan kedewasaan untuk menyikapi perbedaan sejauh perbedaan itu sama-sama memiliki dasar yang kuat. Terakhir, yakinilah yang menjadi pandangan kita dan jangan ada sedikit pun keraguan atas keputusan yang telah diambil.
Perbedaan awal bulan Hijriah dilatarbelakangi metodologi penentuan awal bulan tersebut. Terdapat dua istilah menyangkut penentuan tanggal, yaitu rukyat dan hisab (namun, perlu tempat khusus untuk membahasnya ). Yang jelas, keduanya memiliki dasar hukum. Silakan untuk mengambil salah satu dari keduanya sesuai keyakinan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Jangan menganggap diri yang paling benar. Jangan pula ragu atas pilihan kita. Wallahu a’lam.
Ustadz. Dr. Aam Amiruddin, MSI
Sumber: Mapi
COMMENTS